Tampilkan postingan dengan label Lantamal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lantamal. Tampilkan semua postingan

Logo LANTAMAL VI Makassar

Add Comment
I. USAHA PERINTISAN
1. Proklamasi kemerdekaan juga disambut oleh rakyat Sulawesi dengan mempersiapkan diri mempertahankan kemerdekaan yang telah diperoleh itu. Dalam suasana menggeloranya semangat perjuangan, para pemuda telah bergerak menyusun organisasi pemuda yang bersifat militer sebagai persiapan Tentara Nasional. Sampai pada permulaan bulan September 1945 sebelum pendaratan tentara Sekutu organisasi-organisasi pemuda telah terbentuk di seluruh Sulawesi Selatan baik di kota-kota maupun di desa-desa.
2. Pemuda Pelajar dan anggota-anggota perjuangan yang bersenjata lengkap yang tergabung dalam TRI telah berhasil menyusun taktik dan strategi perjuangan untuk mengangkat senjata melawan NICA. Setelah segala persiapan matang maka pada tanggal 27 oktober 1945 dimulailah perebutan kekuasaan dari tangan NICA yang berpusat di Makasar. Perlawanan pemuda pejuang dihadapi oleh NICA dan Australia dengan menggunakan senjata modern. Para pemuda dengan senjata yang ada padanya berusaha mempertahankan diri, tetapi akhirnya para pemuda terpaksa mengundurkan diri keluar kota. Dengan kegagalan gerakan ini, maka para pemuda mengalihkan pusat perjuangan keluar kota sedang pusat pemeritahan RI dipindahkan ke Polangbongkeng, yang kemudian menjadi pusat perjuangan rakyat Sulawesi Selatan. Di Polabongkeng telah disusun rencana untuk mengadakan koordinasi perjuangan seluruh Sulawesi Selatan.
3. Kegagalan perjuangan di bidang bersenjata disebabkan karena kekurangan senjata dan pengalaman, untuk menyusun kembali organisasi-organisasi perjuangan maka pemuda Sulawesi mengalihkan perhatiannya untuk mencari bantuan ke Jawa. Beberapa puluh orang pemuda ditugaskan ke Jawa, guna mengatur koordinasi perjuangan yang nantinya akan di kirim ke Sulawesi. Di pulau Jawa pemuda-pemuda tersebut kemudian berhasil menghubungi putra-putri Sulawesi baik yang tergabung dalam BKR-Laut, Darat maupun Badan-badan perjuangan lainnya.
4. Di Jawa dengan terbentuknya BKR-Laut Pusat dan di daerah maka putera-puteri Sulawesi yang mempunyai pengalaman dan darah kelautan telah ikut memperkuat BKR-Laut di Jawa. Perjuangan putera Sulawesi yang paling besar jumlahnya terdapat di Surabaya. Pada bulan September 1945 di Surabaya telah didirikan BKR Laut oleh tokoh-tokoh pelaut Sulawesi seperti A.R. Aris, A.H. Tuppu dan Ny.Barnetje Tuegeh yang bekerjasama dengan tokoh-tokoh pelaut lainnya. Kemudian kelompok tersebut berhasil membentuk Staf BKR Laut Surabaya sebagai berikut :

Komandan : A.R. Aris
Wakil komandan : R. Sutrisno
Kepala Staf Kepala Personalia/
Pengerahan : L. Mochtar
Tenaga : A.H. Tuppu
Kepala Urusan Makanan : J. Gerret.
Anggota : Ny.Barnetje Tuegeh.
Abdul Djalil
Atas inisiatif Letnan Kolonel Tuegeh, seorang tokoh TKR-Laut Surabaya telah memerintahkan satu pasukan ekspedisi dari Surabaya pada tahun 1945 menuju Tulawu (Kota Makasar) untuk membantu dan mengadakan kontak dengan para pejuang Sulawesi. Bersama ekspedisi ini Letnan Kolonel B. Tuegeh mengutus seorang kurir untuk menemui Wolter Monginsidi tokoh pejuang Sulawesi yang bergerak di Makasar. Kurir Ny. B. Tuegeh membawa pesan agar Wolter Monginsidi ikut aktif membentuk Angkatan Laut yang sudah diinfiltrasikan kesana. Ajakan ini diterima baik karena dia menyadari pentingnya peranan Angkatan Laut bagi daerahnya dalam menyusun strategi, taktik serta organisasi Angkatan Laut yang akan dibina di Sulawesi Selatan. Kemudian diadakan ekspedisi ke II atas inisiatif A.R.Aris dan B. Tuegeh dibawah J.F. Warrow dan Tomboto melalui Surabaya via Banyuwangi langsung ke Makasar. Ekspedisi berhasil mendarat dan menimbulkan hasrat yang kuat dari putera-puteri Sulawesi untuk membentuk suatu pasukan dengan tugas mendirikan Angkatan Laut di Sulawesi karena potensi yang akan menunjang pendirian ini cukup besar jumlahnya.
5. Pada bulan Desember 1945 Markas Tertinggi TKR Laut yang pada waktu itu berkedudukan di Tanggulangin menyetujui pembentukan TKR Laut Sulawesi dengan nama Angkatan Laut Republik Indonesia Persiapan Seberang. Tugas utama dari Angkatan Laut Persiapan Seberang adalah untuk mengobarkan semangat perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sesuai dengan keputusan tersebut maka pada bulan itu juga berhasil dibentuk susunan organisasi sebagai berikut :
a. Pimpinan/tenaga perencana : Djohan Dg Mamangun, Wahab Tarru Dg Mabela, Abdul Rachman Dg Mabela, Abdullah Dg. Mabela, Sjamsul Arif dan Sutrisno.
b. Tenaga pelaksana tempur : Hasan Ralla, Muh. Djafar, Manggu Dg Sialla, Muh. Arsjad Temba, A.A. Rivai, P. Abdullah, R. Nasution, M. Amir, Ahmad Lamo, Sadji, H. Hasan, M. Saidie, Ibrahim, Abd. Rahim Dg. Shabuddin, J. Kullu, A. Zaeni, Abd. Rachim Dg. Parani, E.S. Kast A.M, M. Maspi, Djurit, Abd. Haruna, Abd. Asis, Herma, Roni Bokingo, Moh. Abdu Bismilla, Sutedjo, La Ewa, Lemassese dan lain-lain.
Pada bulan ini juga mereka telah berhasil membentuk pasukan tempur dengan nama TKR Laut 0018/Ekspedisi Seberang di bawah Mayor Djohan Dg Mamangun yang bermarkas di Sidoarjo sedang sebagian pasukan bertugas di front Buduran-Waru (Surabaya). Di front ini pasukan Ekspedisi Seberang sangat giat melakukan operasi-operasi darat dalam membendung pengluasan daerah kekuasaan NICA ke daerah RI. Selama mereka melakukan operasi darat ini keanggotaan mereka bertambah besar, akhirnya menjadi 500 orang anggota bersenjata lengkap. Pada tanggal 2 Mei 1946 TKR - Laut 0018/Ekspedisi Seberang masuk menjadi bagian dari Markas Tertinggi Angkatan Laut di Lawang yang kemudian disebut sebagai Pasukan Penyelidik Seberang.
6. Pada bulan September 1946 disusun rencana pengiriman ekspedisi yang merupakan pelopor pertama dengan pembagian daerah sebagai berikut :
a. Ekspedisi ke daerah I/Mandar-Majene dibawah pimpinan Letnan II M. Amier dan Sersan Abd. Rachman.
b. Ekspedisi ke daerah II/Pare-pare dibawah Kapten Abdullah Dg. Mabella.
c. Ekspedisi ke daerah III/Barru di bawah Kapten Wahab Tarru.
d. Ekspedisi ke daerah IV/Makasar dibawah Kapten Sjamsul Arif.
e. Ekspedisi ke daerah V/Polongbongkeng dibawah Letnan I M. Arsjad Temba.
Dari kelima persiapan ekspedisi ini yang jadi berangkat adalah ekspedisi ke Daerah I/Mandar-Majene dan ke Daerah V/Polongbongkeng yang lainnya tertunda karena persiapan-persiapan mereka belum selesai. Pada awal Nopember 1946 ekspedisi ke daerah I dan V bertolak dari pelabuhan Pasuruan.
7. Ekspedisi ke Daerah I yang dipimpin oleh Letnan II Amier dan Sersan Abd. Rachman telah mendarat di Paotere (Makasar) pada tanggal 20 Nopember 1946. Sesuai dengan tugas diberikan kepada Letnan II Amier berhasil menghubungi Pimpinan Pasukan "Harimau Indonesia" dibawah pimpinan Ali Malaka di kampung Kaluku Badoa Makasar, maka tercapailah suatu persetujuan antara Letnan II Amier dengan pucuk pimpinan Harimau Indonesia dengan keputusan bahwa Pasukan Harimau Indonesia dilebur menjadi ALRI.
8. Dalam perkembangan ALRI Daerah I dan Daerah III dalam masa konsolidasi ini keanggotaan ALRI telah dapat mencapai sekitar 2500 anggota. Hasil yang dicapai oleh ALRI Seberang yang telah dapat mengkoordinasikan pemuda-pemuda pelaut Sulawesi Selatan kedalam organisasi ALRI merupakan potensi yang penting bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Sulawesi Selatan.
9. Untuk memperluas daerah ALRI di Sulawesi Selatan agar dapat mewujudkan pembentukan daerah ALRI seperti yang telah direncanakan oleh ALRI-PS pada bulan September 1946 pembinaan ALRI di Sulawesi Seberang di ambil alih oleh MPA (Markas Pertahanan ALRI). MPA telah berhasil menyusun suatu ekspedisi yang lebih besar dan kuat serta lengkap, maka pada tanggal 27 Januari 1947 ekspedisi berangkat dari pelabuhan Panarukan yang dinamakan ekspedisi ke II dengan daerah sasarannya Daerah II/Pare-pare dan Daerah III/Baru.
10. Pada tanggal 17 Pebruari 1947 rombongan mendarat di pantai Barru tetapi kemudian berhasil ditawan seluruhnya oleh NICA. Tertangkapnya seluruh anggota rombongan adalah karena mereka tidak mendapat info pertempuran di Daerah I ini. Pasukan ALRI -PS dibawah komandan Abd. Hae dengan giat mengadakan penyerangan pos-pos polisi dan kubu-kubu pertahanan NICA serta penghadangan patroli-patroli NICA. Sebagai pembalasan serdadu-serdadu NICA dibawah pimpinan Westerling menjalankan taktik penghancuran total terhadap unsur-unsur ALRI di dalam daerah kekuasaannya. Kubu-kubu pertahanan ALRI-PS Daerah I/Mandar mendapat serangan yang sangat berat dari pasukan Westerling pada permulaan Pebruari 1947. Dalam pertempuran di daerah ini banyak anggota staf dan pasukan gugur termasuk Abd. Hae sendiri, kemudian yang selamat melarikan diri ke pedalaman dan ada yang ke Jawa.
11. Meninjau keadaan Sulawesi dirasakan bahwa situasi tidak mengizinkan lagi untuk bertahan lebih lama sedangkan perlengkapan makin berkurang dan juga untuk menghindarkan korban yang terlalu banyak di kalangan rakyat karena aksi Westerling. Atas pertimbangan ini maka sisa pasukan ekspedisi memutuskan untuk kembali ke Jawa pada tanggal 30 Mei 1947.
12. Setelah pengakuan Kedaulatan RI, banyak anggota-anggota bekas TRI Seberang dan ALRI Seberang dari Sulawesi Selatan yang dibebaskan dari tawanan Belanda bergabung dengan induk pasukannya kembali yang menjadi Angkatan Darat. Demikian juga yang terjadi di Sulawesi Selatan pasukan-pasukan ALRI yang berasl dari TRI-PS dan ALRI-PS yang berhasil dibina disana sesuai dengan ketetapan Pemerintah dilebur ke dalam Angkatan Darat. Batalyon-batalyon TLRI yang dulunya merupakan pasukan ekspedisi yang kemudian bertugas di Makassar telah menjadi Angkatan Darat yakni Batalyon 719, Batalyon Andi Selle, Batalyon 711, Batalyon Abdullah dan sebagian lagi masuk Kepolisian Negara. Dengan demikian maka anggota-anggota ekspedisi ALRI Divisi VI Sulawesi Selatan tidak meneruskan kariernya dalam ALRI, kecuali beberapa orang saja.

II. PEMBENTUKAN SECARA FISIK.
Secara fisik unsur TNI AL di Makassar telah terbentuk sejak Tahun 1950 dan seiring dengan berjalannya waktu, maka nama organisasi, jumlah personel, fasilitas dan kemampuannya berubah menyesuaikan perkembangan organisasi TNI Angkatan Laut pada masanya.
13. KKAL Makassar (1950-1952). Meletusnya Peristiwa Andi Azis dan Pemberontakan Republik Maluku Selatan pada Tahun 1950, keamanan diwilayah Indonesia bagian Timur terganggu. Setelah pemberontakan tersebut berhasil ditumpas, pemimpin ALRI saat itu memandang perlu membentuk unsur ALRI dalam rangka memulihkan keamanan wilayah maritim Indonesia bagian Timur, maka dibentuklah Kedinasan Kota Angkatan Laut Makassar yang disingkat KKAL Makassar berdasarkan Surat Perintah Kasal Nomor : G.1/6/9 tanggal 1 Juli 1950 dengan tugas pokok :
a. Mengurus kepentingan ALRI didaerah ini, bekerja sama dengan instansi sipil maupun militer.
b. Memberi bantuan logistik kapal-kapal armada yang berlabuh di pelabuhan Makassar dan yang beroperasi di wilayah Indonesia bagian Timur.
Untuk pertama kalinya, Komandan KKAL dijabat oleh Kapten Laut Soekoyo dengan kegiatan masih sangat terbatas karena kurangnya personel dan fasilitas. Tempat penampungan anggotanya adalah bangunan Bara-Baraya (sempat menjadi Fakultas Ekonomi Unhas, saat ini menjadi Gedung Serbaguna Unhas di Jl. Sunu).
14. Komalko M.M (1952-1953). Berdasarkan Skep Kasal Nomor : 17/I/3 tanggal 29 Maret 1952, KKAL Makassar berubah sebutannya menjadi Komando Angkatan Laut Kota Makassar-Malino (Komalko M.M.) dengan tugas utama :
a. Mengurus kepentingan Mako dalam bidang personel, material dan fasilitas yang ada di kota Makassar dan Malino.
b. Memberi dukungan logistik kapal-kapal Armada yang beroperasi diperairan Indonesia bagian Timur dan Tengah di pelabuhan Makassar.
Jabatan Komandan kembali dipercayakan kepada Kapten Laut Soekoyo dan dalam rangka mengamankan kota Makassar diikutsertakan anggota KKO AL untuk membantu patroli Komando Militer Kota Makassar dengan Komandan Peleton yang pertama adalah Letnan Koesnaniwoto.
15. KDMM (1953-1960). Berdasarkan Skep Kasal Nomor : A.17/I/9 tanggal 25 September 1953, Komalko M.M. berubah nama menjadi Komando Daerah Maritim Makassar (KDMM). Tanggal 2 Oktober 1953, Mayor Laut R.E. Martadinata atas nama KSAL melantik Mayor Laut A.F. Langkay menjadi Komandan KDMM.
Tugas pokok KDMM adalah :
a. Mengawasi daerah laut serta memelihara ketertiban dan keamanan diperairan Kalimantan Selatan mulai dari Sungai Sampit Kalimantan Timur sampai Kalimantan Inggris dan perairan Pulau Sulawesi.
b. Membina administrasi dan ketertiban anggota Angkatan Laut yang berkedudukan diwilayah KDMM.
c. Memegang Komando Operasi atas Satuan Angkatan Laut yang berkedudukan dibawahnya.
Pada periode ini, KDMM berkembang dengan pesat, baik jumlah personel, material dan fasilitas dengan melaksanakan pembangunan-pembangunan :
a. Pembangunan Kompleks Maciniayu.
b. Pembangunan Kompleks Layang dan Markas KDMM.
c. Pembangunan Stasion Angkatan Laut Manado dan Stasion Angkatan Laut Makassar sebagai hasil penukaran dengan Ksatrian Angkatan Laut Malino.
d. Pembangunan Stasion Angkatan Laut Banjarmasin pada tanggal 20 Juli 1960.
Pejabat Komandan KDMM :
a. Mayor Laut A.F. Langkay (1953-1956).
b. Mayor Laut E.H. Thomas (1956-1958).
c. Mayor Laut D. Napitupulu (1958-1959).
d. Mayor Laut Ali Yusran (1959-1960).
16. Kodamar-V (1960-1966). Berdasarkan Skep Kasal Nomor : A.4/6/60 tanggal 18 oktober 1960, KDMM berubah sebutan menjadi Komando Daerah Maritim-V (Kodamar-V) serta perubahan sebutan jabatan Komandan menjadi Panglima.
Pada periode ini, Kodamar-V membangun beberapa fasilitas meliputi :
a. Pembangunan Dermaga Layang.
b. Pembangunan Gedung Staf.
c. Pembangunan Gedung Perbekalan.
d. Pembangunan Kompleks Tabaringan.
e. Mendirikan Penataran Angkatan Laut/ Fasharkan pada tanggal 1 Juli 1962, penyerahan dari Pelni kepada Angkatan Laut dalam rangka persiapan Trikora.
Pejabat Panglima Kodamar-V :
a. Letkol Laut Panggabean (1961-1963).
b. Kolonel Laut Soedjadi (1963-1966).
c. Komodor Laut Marwidji (1966 sd perubahan menjadi Kodamar-8)
17. Kodamar-8 (1966-1970). Berdasarkan Telegram Men/Pangal TW. 280410 z/ Feb.’67 tantang penertiban dan penomoran Kodamar, diatur urutan nomor yang dimulai dari Barat ke Timur, maka Kodamar-V menjadi Kodamar-8 dengan wilayah tanggung jawab pada wilayah laut Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dengan tugas :
a. Tugas Polisionil, bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan wilayah perairan Provinsi Sulseltra.
b. Tugas Pertahanan dalam rangka menjaga integritas wilayah perairan Provinsi Sulseltra.
c. Tugas Pembinaan, bertanggung jawab atas pemeliharaan kapal-kapal operatif yang berada di bawah wilayahnya.
Pejabat Panglima Kodamar-8 :
a. Komodor Laut Marwidji (1966-1969).
b. Komodor Laut Waloeyo Soegito (1969 sd menjadi Daeral-VII)
Kolak yang berada dibawah Kodamar-8 adalah :
a. Kosubmarsional 801/ Makassar.
b. Kosubmarsional 802/ Pare-pare.
c. Kosunmarsional 803/ Kendari.
d. Kosubmarsional 804/ Bau-bau.
18. Daeral-VII (1970-1985). Dalam rangka konsolidasi dan reorganisasi serta integrasi antar angkatan sesuai Keppres No. 79 dan 80 Tahun 1969 serta peraturan-peraturan penyempurnaannya, maka berdasarkan kawat Kasal TW 301640 Z/Mrt/70, Kodamar-V berubah menjadi Daerah Angkatan Laut-VII (Daeral-VII) dengan tugas pokok :
a. Membina sistim pangkalan Angkatan Laut dalam daerah hukumnya dalam tingkat kesiagaan yang cukup untuk sewaktu-sewaktu mampu mendukung satuan operasi Angkatan Laut.
b. Membina tingkat kekuatan dan kesiagaan yang cukup untuk sewaktu-waktu mampu diikut sertakan dalam penyelenggaraan Hankamnas di wilayah Daeral-VII.
Panglima Daeral-VII :
a. Komodor Laut Waloeyo Soegito (1970-1972).
b. Laksma TNI Atmodjo Brotodarmodjo (1972-1976).
c. Laksma TNI A. Rachman (1976-1977).
d. Laksma TNI S. Reksodihardjo (1977-1981).
e. Laksma TNI Roesdi Roesli (1981-1982).
f. Laksma TNI Sriwaskito (1982-1985).
Kolak jajaran Daeral-VII adalah :
a. Lanal UPG berkedudukan di Ujung Pandang.
b. Sional BPP berkedudukan di Balikpapan.
c. Sional PDA berkedudukan di Donggala.
d. Sional KDI berkedudukan di Kendari.
e. Perwal BSN berkedudukan di Banjarmasin.
f. Posal Bau-bau berkedudukan di Bau-bau.
Berdasarkan Skep Kasal Nomor : Skep/ 5030.1 Tahun 1970 tanggal 18 Pebruari 1970, Daeral-VII dianugerahi Pataka yang merupakan lambang Daeral-VII dengan motto ”Jala Kartika Gakti” yang berarti Penguasaan laut adalah syarat mutlak bagi kejayaan dan kebahagiaan bangsa Indonesia seluas samudera, setinggi bintang loyalitas kita dalam mendharma bhaktikan diri.
19. Lanal Ujung Pandang (1985-1992). Berdasarkan Skep Kasal Nomor : Skep/1234/ V/ 1985 tanggal 31 Mei 1985 terjadi likuidasi/ penghapusan Daeral-daeral menjadi Lantamal-Lantamal, unsur yang tersisa adalah Lanal Ujung Pandang dengan pejabat Komandannya adalah Kolonel Laut (P) A. Nawir. Selanjutnya Mako Lanal Ujung Pandang menempati Mako eks Daeral-VII dengan kedudukan dibawah Lantamal Bitung.
Pejabat Danlanal Ujung Pandang :
a. Kolonel Laut (P) A. Nawir (1985-1987).
b. Kolonel Laut (P) Syahrawi A.K. (1987-1988).
c. Kolonel Laut (P) Sugirwadi Prayoga (1988-1989).
d. Kolonel Laut (P) Kuryono (1989-1992).
20. Lantamal Ujung Pandang (1992). Berdasarkan Keputusan Kasal Nomor : Kep/ 02/ VII/ 1992 tanggal 11 Juli 1992 tentang Perubahan Status Pangkalan-pangkalan TNI AL dan Pergeseran Kedudukan Guskamla, disebutkan diantaranya perubahan status Lantamal Bitung menjadi Lanal Bitung dan Lanal Ujung Pandang menjadi Lantamal Ujung Pandang. Dengan adanya perubahan tersebut maka Lantamal Bitung melaksanakan Operasi Geser-92 berdasarkan R.O. Gelar-92 yang diterbitkan oleh Pangarmatim. Pergeseran meliputi pergeseran personel, material serta dokumen dari Bitung ke Ujung Pandang. Danlantamal Bitung saat itu, Kolonel Laut (P) Hambar Martono kemudian menjadi Danlantamal Ujung Pandang sampai dengan perubahan nama menjadi Lantamal-IV.
21. Lantamal-IV (1992-2006). Berdasarkan Keputusan Kasal Nomor : Kep/ 03/ VIII/ 1992 tanggal 22 Agustus 1992 tentang Perubahan Sebutan Pangkalan-pangkalan Utama TNI AL, maka sebutan Lantamal Ujung Pandang berubah menjadi Lantamal-IV. Berdasarkan Skep Kasal Nomor : Skep/ 2925/ IX/ 1992 tanggal 23 September 1992, Lantamal-IV dianugerahi Pataka dengan motto ”Samapta Rumeksa” yang seluruhnya baik lambang maupun warnanya mengandung arti ”Kekuatan yang selalu siap untuk memberikan dukungan perawatan dan pemeliharaan secara cepat dan tepat”.
Pejabat Danlantamal-IV :
a. Laksma TNI Hambar Martono (31/08/92-01/09/93).
b. Laksma TNI Sugiyarto (01/09/93-05/09/94).
c. Laksma TNI Haryo Armanto (05/09/94-15/02/96).
d. Laksma TNI Totok MK Laksito (15/02/96-22/07/97).
e. Laksma TNI Hari Muljo (22/07/97-27/03/00).
f. Brigjen TNI (Mar) Prayitno S.ip (27/03/00-09/07/01).
g. Laksma TNI Masruchan (09/07/01-02/08/02).
h. Brigjen TNI (Mar) Herman Rastam (02/08/02-24/06/03).
i. Laksma TNI Suharso Riyadi (24/06/03-15/07/05).
j. Laksma TNI Fanani Tedjokusumo (15/07/05-23/06/06).
k. Laksma TNI Ir. Gatot Sudijanto (23/06/06 sd menjadi Lantamal-VI).
22. Lantamal-VI (2006-Sekarang). Berdasarkan Keputusan Kasal Nomor : Kep/ 10/ VII/ 2006 tanggal 13 Juli 2006 tentang Perubahan Penomoran Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal), terjadi perubahan penomoran Lantamal yang diurutkan berdasarkan letak dan posisi geografisnya dari Barat ke Timur, maka Lantamal-IV berubah menjadi Lantamal-VI.
Pejabat Danlantamal-VI :
a. Laksma TNI Ir. Gatot Sudijanto (13/07/06 - 04/01/08).
b. Laksma TNI Ign. Dadiek Surarto (04/01/08 - 29/08/09).
c. Laksma TNI Bambang Wahyudin (29/08/09 - 09/07/10)
d. Brigjen TNI Marinir Chaidier Patonnory (09/07/10 - 30/09/11)
e. Brigjen TNI Marinir M. Suwandi M.T. (30/09/11 - xx/xx/xx)
f. Laksma TNI Arie Soedewo, SE (xx/xx/xx - 19-06-2014)
g. Laksma TNI Rudito Hadi Purwanto (19-06-2014 - Sekarang)
h.
III. PENUTUP
23. Demikianlah sejarah terbentuknya unsur TNI AL di Makassar mulai dari KKAL Makassar sampai dengan Lantamal-VI sekarang ini dengan demikian, maka tanggal 1 Juli 1950 dapat dikatakan sebagai hari kelahirannya.
Sumber :
1. Subdisjarah Dispenal.
2. Cakrawala No. 260/ XXI Tanggal 5 Juli 1982.
3. Buku Sejarah TNI Jilid I - V

Sumber Artikel : http://www.lantamal-6.mil.id/profil/sejarah

Logo LANTAMAL V Surabaya

Add Comment
Pangkalan Utama TNI  AL V (Lantamal V)  adalah salah satu dari beberapa pangkalan militer Angkatan Laut di Indonesia, jumlah pangkalan di Indonesia berjumlah 11 pangkalan antara lain, Lantamal I Belawan, Lantamal II Padang, Lantamal III, Jakarta, Lantamal IV Tg. Pinang, Lantamal V Surabaya, Lantamal VI Makasar, Lantamal VII Kupang, Lantamal VIII Menado, Lantamal IX Ambon, Lantamal X Jayapura dan Lantamal XI Merauke. 
Dari 11 pangkalan Lantamal V adalah yang terbesar dan mempunyai fasilitas pangkalan yang terlengkap, hampir separuh kekuatan Angkatan Laut Indonesia berada di Surabaya, hal ini menunjukkan betapa pentingnya Pangkalan Utama TNI AL V Surabaya. Melihat dari sejarahnya bahwa pangkalan tersebut di bangun sejak jaman penjajahan Belanda pada tahun1878. 
 Belanda memerlukan pangkalan untuk memperlancar misinya didalam menjajah Republik Indonesia dan mengambil hasil bumi yang akan dikirim kenegaranya. Tahun 1942 Belanda menyerah dengan Jepang, dengan menyerahnya Belanda, Jepang melanjutkan penjajahan di Indonesia selama 3,5 tahun yang membuat Negara Indonesia mengalami kesengsaraan yang amat sangat, Jepang yang saat itu berperang melawan Sekutu memerlukan dukungan logistic yang sangat besar, Indonesia menjadi perahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tahun 1945 Sekutu mengebom Kota Hiroshima dan Nagasaki dan akhirnya Jepang menyerah kepada sekutu, Hal ini dimanfaatkan oleh para pejuang Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. 

Sejarah singkat Angkatan Laut pada masa perjuangan kemerdekaan. 
Kekalahan kekaisaran Jepang dalam Perang Pasifik (1941-1945) ditandai dengan peandatanganan pernyataan menyerah tanpa syarat seluruh kekuatan militer Jepang kepada sekutu di atas kapal perang AL Amerika USS Missouri. Setelah penandatanganan kemudian dilanjutkan dengan pengumuman kepada seluruh kesatuan Jepang di wilayah pendudukan untuk tidak melakukan kegiatan apapun sementara menunggu kedatangan pasukan sekutu yang akan melucuti dan memulangkan mereka ke negara induk Jepang. Berita penyerahan Jepang kepada sekutu diumumkan keseluruh penjuru dunia melalui radio. Para tokoh pergerakan Indonesia yang mendengar hal tersebut memanfaatkan momen itu dengan segera mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Tapi hal tersebut tidak berjalan dengan mudah karena pasukan Jepang yang berada di Indonesia tidak mendukung, mereka mempertahankan status quo dalam rangka penyerahan wilayah Indonesia kepada pihak sekutu, hal ini merupakan tantangan bagi para pejuang kemerdekaan untuk dapat memproklamirkan kemerdekaan sebelum pihak sekutu yang dibonceng Belanda tiba di Indonesia. 
Pada tanggal 17 Agustus 1945 akhirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Hal tersebut disambut oleh para pejuang didaerah dengan membentuk badan perjuangan. Badan-badan perjuangan inilah yang aktif melakukan pengambil alihan berbagai fasilitas pemerintahan, baik sipil, militer maupun kepolisian dari tangan pemerintah dan balatentara kekaisaran Jepang, termasuk merebut dan mengambil alih persenjataan. 
Para pemuda dan tokoh kemerdekaan yang pernah mengikuti organisasi atau pendidikan kemiliteran, baik semasa kolonial Belanda maupun pendudukan Jepang, membentuk suatu badan kemiliteran yaitu Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 22 Agustua 1945. Dikalangan para pejuang Bahari, para pemuda meresponnya dengan membentuk BKR Laut yang diresmikan pada tanggal 10 September 1945, Badan inilah yang kemudian menjadi BKR Laut pusat yang berkedudukan di Jakarta. Setelah itu dengan pembentukan BKR-BKR Laut di daerah-daerah termasuk Surabaya. 
Pada perkembangannya untuk menyesuaikan dengan situasi pada tanggal 05 Oktober 1945 Pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat No. 2/X yang secara resmi merubah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kemudian BKR Laut menyesuaikan menjadi TKR Laut. Di bidang organisasi , TKR Laut terjadi perkembangan menyangkut penegasan terhadap fungsi dan tugas utamanya, sehingga dibentuklah system pangkalan di setiap daerah dimana TKR laut berdiri.

Awal Berdirinya Pangkalan 
TKR Laut di rubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada tanggal 25 Januari 1946, pada Pebruari 1946 berubah menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) diresmikan Pemerintah RI pada tanggal 19 Juli 1946. berkaitan dengan hal perubahan tersebut pangkalan-pangkalan TKR Laut menjadi Pangkalan ALRI. Pada saat itu ALRI dipimpin oleh Ketua Umum Laksamana III M. Pardi, pada priode tersebut (1946-1947) ALRI tercatat memiliki 12 Pangkalan di Pulau Jawa yaitu Pangkalan I Serang, Pangkalan II Karawang, Pangkalan III Cirebon, pangkalan IV Tegal, Pangkalan V Pemalang, Pangkalan VI Juwana, pangkalan VII Surabaya, Pangkalan VIII Madura, Pangkalan IX Probolinggo, Pangkalan X Banyuwangi, Pangkalan XI Pacitan dan Pangkalan XII Cilacap.

Pertempuran Memperebutkan Pangkalan Di Surabaya dari Jepang. 
Pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang Surabaya merupakan pangkalan utama bagi pasukan penjajah Balanda maupun Jepang, sehingga di Surabaya banyak pendidikan yang berunsur kelautan yang diselenggarakan oleh Belandan Maupun Jepang, banyak para pemuda di Surabaya mengikuti pendidikan tersebut sehingga ketika terjadi perebutan pangkalan di Surabaya para pemuda tersebut memegang peranan.

Pembentukan BKR Laut di Surabaya lebih pesat dan cepat dibandingkan dengan pembentukan didaerah lainnya, para pemuda yang pernah mengikuti pendidikan KoninklijKe Marine pada jaman Belanda maupun yang pernah mengikuti pendidikan Jawa Unko Kaisya, Akatsuki Butai ataupun Kaigun SE 21/24 Butai dan lain-lain pada jaman penjajahan Jepang membantu cepatnya proses pembentukan BKR Laut di Surabaya. 
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia di kumandangkan, untuk pangkalan Angkatan Laut di Surabaya masih dikuasai oleh Jepang, pada bulan Oktober 1945 datanglah Atmadji yang diutus oleh menteri Amir Syarifuddin untuk membentuk Angkatan Laut di Surabaya, untuk melaksanakan tugasnya itu Atmadji menemui dr. Mustopo yang pada waktu itu menjabat sebagai pimpinan umum BKR Surabaya. Hasil pembicaraaan kedua tokoh tersebut ialah dengan diangkatnya Atmadji sebagai penasehat pada Penataran Angkatan laut (PAL). 
Pada tanggal 17 Oktober 1945. Pemerintah setempat melalui radio pemberontak memanggil pemuda-pemuda bekas pelaut zaman Belanda dan zaman Jepang untuk mengabdikan diri menjadi Angkatan Laut. Untuk menampung pelaut-pelaut tersebut maka dibentuklah Marine Keamanan Rakyat (MKR) pada tanggal 18 Oktober 1945 dipimpin oleh Atmadji. 
Perkembangan selanjutnya Atmadji dapat dengan cepat berhasil mengkoordinasikan segala organisasi yang beraspek kelautan dan membentuk Markas Tertinggi  yang berkedudukan di Wonocolo Surabaya dan karena situasi petempuran untuk mempertahankan kota Surabaya hingga akhirnya bergeser sampai ke Lawang. Kegiatan badan-badan yang beraspek kelautan di bidang operasi di pusatkan pada tugas pengambil alihan kekuasaan dari pemerintahan Jepang,. Pada tanggal 2 Oktober 1945 sesuai dengan keputusan antara pimpinan BKR Surabaya, pimpinan PAL, BKR Laut, Kepolisian dan badan-badan perjuangan lainnya maka diadakanlah gerakan pengambilalihan seluruh Komplek Pangkalan Utama Angkatan Laut Ujung Surabaya. 
Serangan dilakukan dari tiga jurusan masing-masing dari Ujung, Komplek kantor Mokojosang dan dari Tanjung Perak. Pihak RI mengerahkan kekuatan lebih kurang 8.000 orang yang terdiri dari pasukan PAL dan BKR Laut 3000 orang serta dari badan-badan perjuangan 5000 orang serta dari kepolisian. 
Pada pukul 08.00 tanggal 2 Oktober 1945, pasukan bergerak mendekati Komplek Penataran Angkatan Laut, melihat kekuatan dari pihak RI sangat besar, maka pasukan Jepang yang bertugas menjaga Komplek tersebut tidak mengadakan perlawanan sehingga dengan mudah dapat dilucuti senjatanya dan di tawan oleh pasukan RI. Pukul 10.00 WIB seluruh Komplek Pangkalan Angkatan Laut sudah dapat dikuasai, para  tawanan tentara Jepang lalu di kumpulkan di lapangan Pasiran selanjutnya dibawa ke kamp tawanan. Bendera Merah Putih Berkibar di Komplek Pangakalan Angkatan laut Ujung Surabaya kemudian pimpinan umum PAL Moch. Affandi memerintahkan kepada pasukan PAL (PRIAL dan BBIPAL) agar kembali ke pos masing-masing untuk menjalankan tugasnya kembali. 
Pada tanggal 3 Oktober  1945 Pimpinan BKR umum dan BKR Laut menyusun dan mengatur penjagaan di daerah Ujung dengan menggunakan pasukan dari tiga unsur tersebut, sedang pimpinannya diserahkan kepada Munadji, Katamhadi, Soetopo dan Soetedjo Eko. Tindakan selanjutnya adalah mengirim delegasi kepada pembesar/ pimpinan Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu Surabaya agar mengakui secara resmi atas penyerahan Pangkalan Ujung.kepada RI, pimpinan angkatan laut Jepang bersedia mengadakan penyerahan secara resmi asal didalam melaksanakan serah terima puhak RI  diwakili oleh seorang pejabat yang kedudukannya setingkat dengan pihak Jepang. Setelah diadakan perundingan diantara unsur-unsur pimpinan BKR Darat, BKR Laut, PAL dan pemerintah daerah Jawa Timur maka ditetapkan wakil Gubernur Sudirman sebagai wakil RI dalam upacara serah terima tersebut. 
Pada tanggal 7 Oktober 1945 di kantor Gubernur Surabaya diselenggarakan upacara timbang terima secara resmi atas seluruh Komplek Pangkalan Angkatan Laut Ujung Surabaya dari Kaigun Seiko Sikikan kepada Pemerintah RI. Dalam upacara tersebut pihak Kaigun diwakili oleh Laksamana Muda Mori Takeo yang bertindak atas nama Kaigun Seiko Sikikan Laksamana Madya Sjibata Yaichiro, sedangkan dari pihak RI  diwakili oleh wakil Gubernur Jawa Timur Sudirman. Hadir dalam upacara tersebut beberapa pimpinan dari Komite Nasional Indonesia Jawa Timur yakni B. Soeprapto, Moch. Affandi dan Moenadji. 
Dengan diserahkannya secara resmi Pangkalan Angkatan Laut Ujung dari pihak Jepang kepad pihak RI maka secara de jure dan de facto telah dikuasai oleh RI, ini merupakan modal utama bagi para pejuang bahari untuk membangun Angkatan Laut selanjutnya karena dengan diserahkannya  Pangkalan tersebut seluruh asset yang ada didalamnya berupa gedung-gedung, mesin-mesin di komplek PAL, sejumlah kapal kayu dan kapal perang, senjata dan lain-lain dapat dipergunakan sepenuhnya untuk membangun Angkatan Laut di Surabaya. 
.
Kedatangan Pasukan Sekutu Di Surabaya Yang Diikuti Pasukan Belanda. 
Pasukan TKR Laut Surabaya telah berkembang dengan pesat, tetapi hal tersebut tidak dapat berlangsung lama setelah penyerahan Pangkalan Angkatan Laut Ujung datanglah pasukan Sekutu untuk menerima penyerahan daerah Surabaya dari pihak Jepang, pada awalnya para pejuang berusaha untuk menahan diri agar tidak ada kontak dengan pihak sekutu tetapi hal tersebut berubah ketika diketahui pasukan tentara Belanda juga mendompleng pihak sekutu untuk kembali di Surabaya dan berniat menguasai kembali kota Surabaya,  maka terjadilah kontak senjata antara para pejuang Surabaya dengan pihak Sekutu yang bergabung dengan pasukan Belanda, pada situasi tersebut tewaslah Jenderal Mallaby di daerah Jembatan Merah sehingga sekutu beranggapan para pejuang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut dan memerintahkan para pejuang untuk segera menyerah dan menyerahkan senjata tetapi hal tersebut ditentang oleh para pejuang sehingga terjadilah pertempuran sengit selama tiga minggu. 
 Sejajar dengan berkobarnya pertempuran yang terjadi di Surabaya pada tanggal 27 s/d 29 Oktober 1945 dan mencapai klimaksnya pada tanggal 10 Nopember 1945, dengan situasi pertempuran di wilayah Surabaya maka pembentukan pangkalan Angkatan Laut bergeser ke daerah Tanggulangin Sidoarjo dan konsentrasi perjuangan berada di darat karena daerah pelabuhan Surabaya saat itu tidak memungkinkan dan  dikuasai oleh penjajah (Sekutu/Belanda), dengan pertimbangan situasi tersebut  keberadaan pangkalan di Tanggulangin lebih mendukung didalam pengiriman pasukan ke garis depan (front) di Surabaya, Gresik dan Mojokerto, di pangkalan tersebut terdapat juga pasukan unsur laut yang berdiri sendiri yakni Pasukan Liar (L), Pemuda Penerbang Angkatan Laut(PPAL) dan pasukan “PAS-O” yang datang dari Jakarta. 
Pada tanggal 1 Januari 1946, sesuai dengan konsolidasi dan reorganisasi yang diadakan oleh MBU ALRI Yogyakarta yakni mengubah struktur organisasi TKR Laut menjadi Pangkalan ALRI maka Divisi I TKR Laut diubah menjadi Pangkalan VII  dengan susunan staf sebagai berikut :
Panglima Pangkalan : Kolonel R. Sutrisno Kertonegoro
Wakil Panglima : Letnan Kolonel Sarmin Partosugondo 
Perwira-perwira Staf : Letkol Mochtar Lahaja, Letkol P.I.B.        
  Lampah, Letkol(W) Bernetje Tuegeh,
  Mayor Soedirdjo dan Kapten Tehupuring. 
Berkembangnya situasi karena agresi pertama, situasi Pangkalan VII tidak memungkinkan bertahan di Tanggulangin, situasi bertambah memanas sehingga  Staf Pangkalan VII dipindahkan ke Lawang, sedangkan pasukan tetap bertugas di front Tanggulangin. Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan kebijaksanaan Markas tertinggi di Lawang tentang pembentukan Divisi TLRI, maka Pangkalan VII dirubah menjadi divisi Tentara Laut Republik Indonesia(TLRI) Jawa Timur. Dengan adanya perubahan tersebut maka pasukan  Pangkalan VII dan pangkalan lain di Jawa Timur semuanya di bawah komando Divisi I TLRI

Pengakuan Kedaulatan 
Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali dengan membonceng sekutu mendarat di Surabaya tetapi hal tersebut mendapat perlawanan dari para pejuang, terbunuhnya Brigadir AWS Mallaby Komandan Pasukan memberikan alasan Sekutu untuk menekan para pejuang di Surabaya untuk bertanggung jawab dan menyerahkan senjata atau menerima gempuran dari pihak Sekutu, hal tersebut tetap di tolak maka terjadilah pertempuran sejak tanggal 10 Nopember 1945 selama tiga minggu, sehingga pangkalan VII Surabaya sempat dipindahkan ke Tanggulangin hingga di Lawang. 
Adanya perlawanan dari para pejuang Republik Indonesia dan tekanan Internasional  memaksa Belanda untuk duduk di meja perundingan, kemudian PBB membentuk Komisi PBB untuk Indonesia atau UNCI( United Nation Commission for Indonesia) pada tanggal 28 Januari 1949 pada tanggal 7 Mei 1949 dicapai kesepakatan gencatan senjata sebagai hasil perundingan Roem-Roijen di Den Haag Belanda. 
Pada tanggal 23 Agustus 1949 hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, disepakati adanya pengakuan Kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda serta membentuk Indonesia Serikat. Dengan diakuinya kedaulatan Indonesia maka dibentuklah Angkatan Perang Republik Indonesia. 

Penyerahan Pangkalan Surabaya. 
Pengakuan Kedaulatan  Indonesia ditandatangani di Den Haag pada tanggal 27 Desember 1948, kemudian seluruh kekuatan perjuangan ALRI di kumpulkan di Surabaya, Pada tanggal 28 Desember 1949 diadakan penyerahan Marine Basis Surabaya beserta dua buah korvet RI Hang Tuah dan RI Patiunus dari Koninklijke Marine (KM) kepada ALRIS. Bersamaan dengan itu Marine Base Surabaya (MBS) berubah menjadi Komando Pangkalan Angakatan Laut Surabaya (KPALS).  
Setelah masa penyerahan MBS, selanjutnya adalah masa konsolidasi pembentukan kekuatan setelah mengalami masa perjuangan pra kemerdekaan dan perang kemerdekaan (revolusi fisik) yaitu adanya agresi militer sekutu, sehingga sejak saat itulah perkembangan kekuatan pangkalan di Surabaya mulai diadakan penataan dan penyusunan baik dibidang Organisasi maupun administrasinya, perkembangan terus terjadi untuk memperbaiki administrasi Pangkalan, MBS kemudian berubah menjadi KPALS, kemudian terjadi perubahan dan perkembangan baik secara fisik maupun administrasi. Pada tanggal 15 Januari 1950 pergantian nama dalam rangka penyempurnaan tugas dilaksanakan dalam tubuh KPALS. Nama KPALS berubah menjadi KDMPS (Komando Daerah Maritim Pangkalan Surabaya) kemudian berubah kembali menjadi KDMS (Komando Daerah Maritim Surabaya), Kodamar (Komando Daerah Maritim) IV, Kodamar V hingga tahun 1971, Daeral (Daerah Angkatan Laut) IV hingga tahun 1982, Lantamal Surabaya tahun 1984. Akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI-AL Nomor : Skep/1202/V/1985 tanggal 29 Mei 1985 berganti nama menjadi Pangkalan Utama TNI-AL III atau Lantamal III Surabaya, Terakhir berubah menjadi Lantamal V berdasarkan Skep Kasal Nomor : Kep/ 10 / VII /2006 tanggal 13 Juli 2006. 

Penutup. 
Pangkalan Angkatan Laut Surabaya sejak zaman Belanda dan Jepang mempunyai peranan amat penting, karena pangkalan Surabaya merupakan Pangkalan Angkatan Laut terbesar di Indonesia, hingga saat ini hal tersebut tidak diragukan. Setelah membaca dari penelusuran sejarah tersebut pembentukan Pangkalan di Surabaya dimulai ketika direbut pertama kali dari kekuasaan tentara Jepang dan diserahkan pada tanggal 7 Oktober 1945, kemudian pangkalan terseut berusaha dukuasai Belanda hingga akhirnya diserahkan Pangkalan Ujung dari Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda) kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Angkatan Laut Republik Indonesia  pada tanggal 28 Desember 1949, kedua tanggal kejadian tersebut dapat dan layaklah dianggap sebagai tonggak sejarah dijadikan sebagai hari jadi Pangkalan Angkatan Laut Surabaya yaitu Lantamal V, namun hal ini merupakan masukan dan memerlukan pendalaman untuk menjadi keputusan.

Sumber tulisan. 
1.               Sejarah TNI AL (periode perang kemerdekaan) 1945-1950 diterbitkan oleh Dirwatpersal 1992.
2.               TNI AL dalam gambar 1945-1950 oleh Muchri BA, Sugeng Sudarto BA diterbitkan oleh Dinas Sejarah TNI AL 1980.
3.               Majalah TSM edisi riwayat singkat ALRI Batalyon 3 Pangkalan IX Pasuruan. Dalam masa perjuangan 1945-1950.
4.               Dokumentasi foto Lantamal V tahun 1950.
5.               TNI AL dalam gambar 1945-1950 oleh Dinas Sejarah TNI AL Jakarta 1980.
6.                 Museum Monumen Tugu Pahlawan Surabaya.

Sumber Artikel : http://lantamal5.tnial.mil.id/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid=68

Logo LANTAMAL IV Tanjung Pinang

Add Comment
Sebagai pendukung kebutuhan logistik dan operasi, ALRI memutuskan untuk membangun beberapa pendirian darat baru di samping pangkalan-pangkalan yang sudah ada, yaitu di Surabaya, Jakarta dan Belawan .
Adapun beberapa daerah yang diperioritaskan sebagai pangkalan ALRI atau Komando Daerah Maritim, adalah Riau, Makasar dan Ambon.
Pendirian Komando Daerah Maritim Riau (KDMR) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. MP/A/170/54 tanggal 31 Maret 1954 dengan memperhatikan Suart Keputusan Menteri Pertahanan No.34/MP/50 tanggal 04 Pebruari 1950 setelah melalui perubahan dan penambahan. Pada awalnya dibentuk suatu Distrik Pengawasan Laut dan Pantai Tanjung Uban (DPLPTU) yang didasarkan pada Keputusan Kasal No. G/4/6/13 tanggal 23 Desember 1950.
Lingkup Daerah yang menjadi Wilayah tanggung jawab dan pengawasan DPLPTU meliputi perairan Kepulauan Riau, khususnya sekitar Tanjung Uban yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga Singapura dan struktur organisasinya merupakan suatu Komando Melalui Surat Keputusan Kasal mengenai pembentukan KDMR ditetapkan bahwa :
1. Komandemen Daerah Maritim Riau merupakakn Suatu Komando Angkatan Laut yang dipimpin oleh seorang Komandan yang berkedudukan langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Kasal.
2. Kedudukan Markas Komando KDMR adalah di Tanjungpinang dengan daerah kekuasaan meliputi :
a. Daerah perairan Propinsi Sumatera Tengah, pantai sebelah timur, termasuk Kabupaten Kepulauan Riau dengan pulau-pulau Bintan, Karimun, Kundur, Lingga, Singkep, Anambas, Natuna dan Tambelan.
b. Perairan Bengkalis.
Guna memudahkan pelaksanaan tugas pokoknya, maka KDMR memiliki kewajiban sebagai berikut :
1. Sebagai suatu Kesatuan Komando, KDMR memegang � Militer Beheer � serta kekuasaan Militer di Kabupaten Kepulauan Riau sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. MP/A/170/54 tanggal 31 Maret 1954.
2. Mengawasi Daerah lautan serta memelihara Keamanan dan Ketertiban di Perairan yang termasuk dalam Daerah tanggung jawabnya.
3. Memegang Komando atas satuan-satuan AL yang berkedudukan di Daerahnya.
4. Menyelenggarakan tata tertib, pemeliharaan serta Administrasi para anggota AL yang ditempatkan di Daerahnya.
Susunan organisasi KDMR secara perinsip sama dengan organisasi KDM lainnya, yaitu terdiri atas : Komandan, Kepala Staf, Staf yang terdiri atas Biro I, Biro II, Biro III dan Biro IV, serta dinas-dinas khusus. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Men/Kasal No. A4/6/60 tanggal 18 Oktober 1960 dilakukan pergantian sebutan KDM ALRI menjadi Komando Daerah Maritim (Kodamar).
Sejarah dengan kebijakan tersebut KDMR berubah menjadi Kodamar II Riau. Dengan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan Strategisnya, serta menyesuaikan dengan sterategi perang laut mengingat wewenang Hankam telah dilimpahkan kepada Kowilhan sebagai Komando Utama Operasional Hankam yang bersifat Gabungan Paduan, maka sebutan Kodamar berganti menjadi Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral).
Pergantian menjadi Kodaeral didasarkan kepada surat keputusan Menhankam Pangab Nomor Kep B/429/69 tahun 1969 dan terhitung mulai Januari 1970 Kodamar II Riau menjadi Kodaeral 2. Sejalan dengan mulai diberlakukannya UU No. 20 Tahun 1982, dikeluarkan Keputusan Pangab No. Kop/09/P/III/1984 tentang tugas-tugas Pokok TNI AL.
Nama Kodaeral berubah menjadi Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) Pada tahun 1984 Kodaeral 2 berubah menjadi Lantamal Tanjungppinang dengan Komandan pertama Kolonel Laut (P) Ginanjar A sampai dengan tahun awal tahun 1986, kemudian diganti oleh Kolonel Laut (P) TB. Husin Yusran sampai dengan tahun 1988, giganti lagi oleh Kolonel Laut (P) Soperapto sampai dengan tahun 1990, setelah menjabat lebih kurang satu tahun setengah, pada tahun 1991 Lantamal Tanjungpinang berubah menjadi Lantamal II, dengan Komandan Kolonel Laut (P) Prapto Prasetiantono sampai dengan pertengahan tahun 1992, dengan Komandannya Kolonel Laut (P) Yuwarsono hanya beberapa bulan saja lalu Lantamal II pindah ke Belawan.
Setelah Lantamal II pindah ke Belawan maka di Tanjungpinang menjadi Lanal 02 dengan Komandan pertamanya Kolonel Laut (P) Abd. Rachman, kemudian Lanal 02 berubah menjadi Lanal Tanjungpinang, pada tahun 1994 Komandan Lanal Tanjungpinang diganti oleh Kolonel Laut (P) Sudarmoyo sampai dengan tahun 1995, lalu diganti dengan Kolonel Laut (P) Waroyo sampai dengan Tahun 1997, kemudian diganti lagi dengan Kolonel Laut (P) Syamsumar Hadiyanto sapai dengan tahun 2000 lalu diganti dengan Kolonel Laut (P) Bambang Suwarto sampai dengan tahun 2002.
Pada Tahun 2002 Lanal Tanjungpinang berubah nama menjadi Lantamal VII dengan Komandan pertamanya dengan pangkat Kolonel Laut (P) Abd. Malik, setelah menjabat beberapa bulan menjadi Laksma TNI sampai dengan tahun 2004, kemudian di gantilagi dengan Kolonel Laut (P) Budi sampai dengan tahun 2005, kemudian diganti oleh Kolonel Laut (P) Hariadi sampai dengan tahun 2006, setelah itu di ganti lagi dengan Kolonel Laut (P) Among Margono, setelah menjabat beberapa bulan pangkat Komandan naik menjadi Laksma TNI dan berdasarkan Keputusan Kasal Nomor Kep/10/VII/2006 tanggal 13 Juli 2006. Lantamal VII berubah menjadi Lantamal IV sampai dengan tahun 2007.
Tahun 2008 dijabat Laksma TNI Marsetio, MM tahun 2009 Brigjen Marinir Lukman Sofyan, tahun 2010 Laksma TNI S M. Darojatim, tahun 2011 Laksma TNI Djoko Teguh Wahojo, tahun 2012 Laksma TNI Darwanto S.H., M.AP dan tahun 2012 s/d sekarang dijabat oleh Laksma TNI Agus Heryana.
Sumber Artikel : http://lantamal4.koarmabar.tnial.mil.id/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=20&Itemid=53

Logo LANTAMAL III Jakarta

Add Comment


Sejarah Pangkalan TNI Angkatan laut (Lantamal)  III tidak bisa dipisahkan dari keberadaan sejarah berdirinya TNI AL itu sendiri, Karena Pangkalan merupakan salah satu dari Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yaitu yang terdiri dari Pangkalan, Kapal, Marinir dan Pesawat Udara (Pesud). Sebelum mengetahui keberadaan Lantamal III kita harus tahu dulu sejarah terbentuknya atau awal keberadaan  TNI AL serta  perkembangannya organisasinya sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan lingkungan strategis.

              
          Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan sebagai Negara merdeka dan berdaulat,  esok paginya  PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menggelar sidang menetapkan UUD 1945, Presiden dan Wapres serta membentuk KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), kemudian pada tanggal 22 Agustus 1945 PPKI memutuskan pembentukan Badan keamanan Rakyat (BKR). Tujuan diadakan BKR adalah untuk menampung bekas anggota PETA dan Heiho yang dibubarkan pemerintah Jepang dan sekaligus dimaksudkan guna menampung semangat keprajuritan putra-putra Indonesia.
               
              Kemudian secara serempak baik di pusat maupun di daerah-daerah para pemuda membentuk BKR-BKR yang awalnya bukan organisasi tentara, dengan tujuan untuk menghindari bentrokan dengan fihak rezim penjajahan Jepang. Para pemuda yang berjiwa bahari seperti SPT (sekolah Pelayaran Tinggi) dan SPI (Serikat Pelayaran Indonesia) dan Pelaut-pelaut Jawa Unko Kaisya kemudian mengkoordinir seluruh pemuda pelaut-pelaut Indonesia lainnya dan membentuk BKR Laut  pada tanggal 10 September 1945 yang nantinya berubah menjadi TKR dan selanjutnya menjadi ALRI.

            Setelah diresmikannya BKR Laut Pusat oleh Komite Nasional Indonesia (KNIP) tanggal 10 September 1945 dan kemudian disusunlah Staf Umum BKR Laut Pusat yang bersifat sederhana hanya beberapa orang yang menjadi Pimpinan yaitu Ketua Umum : M. Pardi dengan anggota  Adam, R.E. Martadinata, Ahmad Hadi, Surjadi, Oentoro Koesmardjo dan Darjaatmaja. Seiring perkembangan waktu dengan adanya Maklumat No.2/X tanggal 5 Oktober 1945 tentang pembentukan Tentara keamanan Rakyat (TKR) maka secara resmi BKR Laut  berubah menjadi TKR Laut.

            Situasi Jakarta yang cukup rawan sehingga pemerintah mengeluarkan putusan untuk memindahkan TKR laut ke luar kota sesuai dengan kehendak pemerintah untuk menjadikan Jakarta sebagai kota Diplomasi dan tidak menginginkan Jakarta menjadi daerah pertempuran seperti yang dialami Kota Surabaya.  Kedudukan selanjutnya Markas Teringgi TKR Berkedudukan Di Yogjakarta setelah perubahan nama mengadakan penyempurnaan organisasi antara lain: Markas tertinggi TKR di Yogjakarta dipimpin Laksamana III M. Pardi, Divisi I TKR Laut Jawa barat berkedudukan di Cirebon dipimpin Laksamana III M. Adam dan Divisi TKR II Jawa Tengah berkedudukan di Purworejo pimpinan Laksamana M. Nasir, khusus untuk perkembangan BKR dan TKR Laut di Jawa Timur menurut instruksi-instruksi dari TKR Laut Jogjakarta, tetapi sehubungan kondisi saat itu yang tidak kondusif akhirnya mempunyai perkembangan sendiri yang membawa pada suatu dualisme.

            Untuk menyatukan semua pihak dan aliran yang terdapat dalam lingkungan TKR Laut dibentuk suatu Komisi Penyelenggaraan Susunan Baru Markas Tertinggi TKR yang anggotanya terdiri dari unsur-unsur pimpinan Yogjakarta, Lawang dan Kementerian Pertahanan. Susunan komisi ketua R.S. Ahmad Sumadi dengan anggota Adam, M. natsir, Katamudi, Moch. Affandi yang disyahkan oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin dengan disaksikan Wapres Moh. Hatta, Jaksa agung Mr. Kasman Singodimedjo, Kepala Staf TKR Darat Urip sumoharjo. Kemudian Komisi ini menyelenggarakan sidang pertama kali tanggal 25 dan 26 Januari 1946 dan mengambil beberapa keputusan antara lain; 1) Mengangkat Atmadji sebagai Pemimpin Umum TKR laut dan ditempatkan pada kementerian Pertahanan, 2) Untuk Koordinasi sepenuhnya antara beberapa fihak  dan aliran dalam TKR laut diputuskan untuk mengangkat M. Nazir sebagai Kepala Staf Umum dengan dibantu M. Pardi dan Gunadi dengan ketentuan ketiganya tidak boleh diadakan perbedaan pangkat. Ketiga pimpinan tersebut diwajibkan untuk menyusun staf TKR laut dengan sebaik-baiknya.

              Pada tanggal ini juga nama TKR Laut dirubah menjadi TRI Laut dan pada bulan Februari 1946 TRI Laut dirubah menjadi ALRI. Perubahan nama tersebut  tidak mempengaruhi struktur organisasi yang telah ada, hanya sejak digunakan nama ALRI  para resimen/batalion TRI Laut terutama di kota-kota pelabuhan lebih mempopulerkan nama Pangkalan ALRI.

              Hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949 menimbulkan konsekuensi ALRI menjadi ALRIS  sesuai dengan Kepres No. 9 tanggal 28 Desember 1949 dan Kepres RIS No. 42 Tanggal 25 Januari 1950 serta Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. 34/MP/50 ditetapkan struktur organisasi ALRIS pada 4 Februari 1950.  Kemudian tanggal 17 Agustus 1950 RIS dihabus sehingga ALRIS beubah lagi menjadi ALRI.

          ALRI yang menganut struktur organisasi “Line and Staff”, setelah tersusun Staf Angkatan laut, kemudian berikutnya membentuk Kotama dan Pendirat. Kebijakan pembentukan Kotama untuk membentuk organisasi Pangkalan Besar Angkatan laut. Sesuai Surat keputusan Menteri pertahanan RIS No. 34/MP/50 tanggal 4 Februari 1950 disebutkan adanya Komando utama yang berkedudukan langsung dibawah KSAL yaitu Komando Daerah Maritim Surabaya (KDMS), Komando Daerah Maritim Belawan (KDMB) dan Kedinasan Kota Angkatan Laut Djakarta (KKALD). Tugas dari KKALD mempersiapkan segala sesuatu guna pemindahan Markas  Besar Angkatan Laut dari Yogjakarta ke Jakarta serta menampung anak buah yang datang dari berbagai daerah di Jawa Barat dan Sumatra. KKALD disempurnakan menjadi organisasi Komando Maritim Kota (Komarko) dengan Komandan Mayor Laut Adm Saleh Bratawijaya.

           Seiring perkembangan organisasi kemudian berdasarkan SK Menteri Pertahanan No. 641/MP/6/50 Tanggal 27 Oktober 1950 dibentuklah Organisasi Komandemen Daerah Maritim Djakarta (KDMD) dengan Komandan Mayor Laut Adm Saleh Bratawijaya dengan Markas di Jl. DR. Sutomo 10. KDMD mempunyai wilayah tanggung jawab meliputi daerah Pelabuhan Tanjung Priok, Selat Sunda, Daerah Kota, Tanjung Priok, Jakarta Raya dan Kebayoran baru.
Tugas KDMD adalah :
1)      Bertanggung jawab atas pertahanan di perairan tanggung jawabnya
2)      Bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan serta menegakkan kedaulatan Negara di perairan yang termasuk daerahnya.
3)      Mengatur operasi-operasi kapal yang ditempatkan dibawah perintahnya.
4)      Menyelenggarakan pemeliharaan kecil untuk kapal, dalam batas kemampuannya.
5)      Dalam melaksanakan tugas Komandan KDM tidak diperkenankan ikut campur urusan pemerintahan sipil.
KDMD berkedudukan langsung dibawah KSAL, dalam melaksanakan tugas sehari-hari Komandan KDMD wajib mengadakan hubungan langsung dengan institusi militer maupun sipil yang ada di wilayahnya.
Sesuai Surat Keputusan KSAL tanggal 11-6-1953 No. G.11/4/10, Organisasi KDMD terdiri dari :
-          KDMD dipimpin seorang Koamndan
-          Pembantu Komandan : Kepala Staf
-          Sekretariat : Urusan umum, arsip dan ekpedisi dan Tata Usaha koamndemen
-          Staf Komandan terdiri dari :
Seksi  I          : Penyelidik/Security
Seksi II          : Operasi dan Kesediaan
Seksi III         : Dinas Tehnik/Material
Seksi IV        : Intedan
-          Dinas Pemeliharaan Khusus terdiri dari :
Perhubungan (PHB), Dinas Angkutan Angkatan laut (DAAL), Pemeriksa Kapal, Bengkel kapal, Bengkel Mobil, Persenjataan, Permiyakan, Perumahan, Bangunan, Penerangan, Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan.
                Organisasi KDMD berjalan sampai tahun 1960. Selanjutnya terbit Surat keputusan KSAL No. A.4/6/6 tanggal 18 Oktober 1960 KDMD berubah menjadi Komando Daerah Maritim III (Kodamar III). Bersama-sama Kodamar lainya yaitu Komando Daerah Maritim Belawan (KDMB) menjadi Kodamar I,  Komando Daerah Maritim Riau (KDMR) menjadi Kodamar II, Komando Daerah Maritim Djakarta (KDMD) menjadi Kodamar III, Komando Daerah Maritim Surabaya (KDMS) menjadi Kodamar IV,  Komando Daerah Maritim Makasar (KDMM) menjadi Kodamar V, Komando Daerah Maritim Ambon(KDMA) menjadi Kodamar VI. Kodamar yang semula 6 diperluas menjadi 10 Kodamar yaitu menjadi Kodamar I Belawan,  Kodamar II Tanjung Pinang, Kodamar III Jakarta, Kodamar IV Semarang, Kodamar V Surabaya, Kodamar VI Banjarmasin, Kodamar VII Makasar, Kodamar VIII Manado, Kodamar IX Ambon dan Kodamar X Irian Barat. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menhankam/Pangab No. Keb B/429/69 terhitung Januari 1970 nama Kodamar diubah menjadi Komando Daerah Angkatan laut (Kodaeral). Pada perkembangan selanjutnya Kodamar IV Semarang dilikuidasi serta nama Kodaeral diganti Daerah Angkatan Laut (Daerah), sesuai keputusan KSAL No. 5401.23 tanggal 30 Maret 1970 didirikan Daeral VIII Nusa Tenggara (Lombok). Sehingga Daeral tetap 10 dengan perincian yaitu; Daeral I meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat  berkedudukan di Belawan, Daeral II meliputi Riau dan Sumatera Selatan berkedudukan di Tanjung Pinang, Daeral III meliputi Jawa Barat dan DKI berkedudukan di Jakarta, Daeral IV meliputi Jawa tengah dan Jawa Timur berkedudukan di Surabaya, Daeral V meliputi Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin, Daeral VI meliputi Sulawesi Utara dan Tenggara berkedudukan di Manado, Daeral VII meliputi Sulawesi Selatan dan Tengah berkedudukan di Ujung Pandang, Daeral VII meliputi Nusa Tenggara berkedudukan di Mataram, Daeral IX meliputi Maluku berkedudukan di Ambon dan Daeral X meliputi Irian Jaya berkedudukan di Biak/Jayapura.

            Kemudian tahun 1984 sebutan Daeral diganti menjadi Pangkalan Utama TNI Angkatan laut (Lantamal) dan dari 10 Daeral menjadi 5 Lantamal yaitu lantamal I Belawan, Lantamal II Jakarta, lantamal III Surabaya, Lantamal IV Ujung Pandang dan Lantamal V Irian. Kemudian berangsur-angsur Lantamal sesuai kebutuhan organisasi bertambah menjadi  11 yaitu Bitung/Mando, Tanjung pinang, Ambon, Padang, Kupang dan Merauke. Pada tahun2006 tepatnya tanggal 13 juli 2006 terbit keputusan Kasal No. Kep/10/VII/2006 tentang perubahan penomoran Lantamal yang akhirnya merubah Lantamal II Jakarta menjadi Lantamal III.


Sumber Artikel : http://lantamal3.koarmabar.tnial.mil.id/Profil/Sejarah.aspx

Logo LANTAMAL II Padang

Add Comment
Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) II merupakan pemekaran dari Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Kelas B Teluk Bayur yang sebelumnya bermarkas di Jalan Sutan Syahrir Bukit Putus Teluk Bayur Padang. Ketika masih berstatus sebagai Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Kelas B Teluk Bayur, administratif dan pembinaan berada di bawah Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) I.
Seiring dengan perkembangan tuntutan kebutuhan akan perlunya peningkatan keamanan khususnya di wilayah perairan nasional dan untuk mendukung strategi pertahanan laut nasional, maka Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Kelas B Teluk Bayur dimekarkan menjadi Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal). Hal ini bertujuan dalam rangka pengendalian laut di kawasan strategis bagian barat Pulau Sumatera dan untuk meningkatkan kemampuan Pangkalan TNI Angkatan Laut dalam mendukung satuan operasional di kawasan ini.
Dasar dari pemekaran Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Kelas B Teluk Bayur menjadi Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) adalah :
1.         Surat Panglima TNI Nomor B/2100-08/16/02/Sru tanggal 5 Juli 2006 tentang Persetujuan Peningkatan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) menjadi Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal).
2.         Keputusan Kasal Nomor Kep/9/VII/2006 tanggal 6 Juli 2006 tentang Likuidasi Pangkalan TNI Angkatan Laut Kelas B Teluk Bayur.
3.         Keputusan Kasal Nomor Kep/11/VII/2006 tanggal 18 Juli 2006 tentang Pembentukan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) II.
Dengan dasar tersebut diatas maka pada tanggal 1 Agustus 2006 dilaksanakan Upacara Peresmian berdirinya Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) dengan nama Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) II yang diresmikan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana TNI Slamet Subiyanto.
Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) II yang baru diresmikan berkedudukan di Jalan Sutan Syahrir Bukit Putus Teluk Bayur Padang dengan  Komandan Lantamal yang pertama Laksamana Pertama TNI Didiek Widiarto. Setelah dilaksanakan peresmian berdirinya Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) II, maka administratif dan pembinaan beralih dari Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) I kepada Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar).
Seiring dengan pemekaran organisasi, pada Bulan Agustus 2008 Markas Komando (Mako) Lantamal II dipindahkan ke gedung baru di jalan Tanjung Priok Bukit Peti Peti Teluk Bayur Padang. Gedung perkantoran yang lama di Jalan Sutan Syahrir Bukit Putus hingga saat ini tetap digunakan sebagai gedung perkantoran untuk beberapa Satker Lantamal II termasuk Yonmarhanlan II Padang.
Wilayah kerja Lantamal II meliputi pesisir Barat Pulau Sumatera mencakup 4 provinsi (Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Bengkulu) dengan membawahi 2 Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Kelas C serta 18 Pos TNI Angkatan Laut (Posal) maupun Pos Keamanan Laut (Poskamla) yaitu :
1.         Mako Lantamal II membawahi 6 (enam) Posal/Poskamla, Yaitu :
               a.      Posal Tua Pejat (Kepulauan Mentawai)
               b.      Posal air Bangis.
               c.      Poskamla Bungus.
               d.      Poskamla Tiku.
               e.      Poskamla Sikakap (Kepulauan Mentawai)
               f.       Poskamla Siberut (Kepulauan Mentawai)
2.         Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Kelas C Bengkulu di Provinsi Bengkulu dengan membawahi 6 (enam) Posal/Poskamla yaitu :
                         a.         Posal Muko-Muko.
 b.         Posal Pulau Enggano.
 c.         Posal Linau.
 d.         Poskamla Pasir Seblat.
 e.         Poskamla Pulau Baai.
 f.          Poskamla Manna.
       3.         Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Kelas C Sibolga di Provinsi Sumatera Utara dengan membawahi 6 (enam) Posal / Poskamla yaitu :
a.         Posal Gunung Sitoli.
b.         Posal Teluk Dalam.
c.         Posal Natal.
d.         Poskamla P. Pini.
e.         Poskamla P. Telo.
f.          Poskamla Kajoran.
Posal Simeulue di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (saat ini telah dimekarkan menjadi Lanal Kelas C) sebelumnya administratif dan pembinaan berada di bawah Lanal Sibolga. Sejak dimekarkan menjadi Lanal Kelas C tahun pada 2008 administratif dan pembinaan dialihkan ke Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) I.
Sejak diresmikan pada tanggal 1 Agustus 2006 hingga saat ini, Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) II telah beberapa kali mengalami pergantian Komandan sebagai berikut :
1.         Laksamana Pertama TNI Didiek Widiarto : 01 Agustus 2006 s/d 03 Desember 2007.
2.         Laksamana Pertama TNI Syarif Husin : 03 Desember 2007 s/d 16 September 2009.
3.         Laksamana Pertama TNI Arnold, SH : 16 September 2009 s/d 22 Juni 2010.
4.         Laksamana Pertama TNI Aswad, SE, MM. : 22 Juni 2010 s/d 21 September 2011.

 5.         Brigjen TNI Marinir Gatot Subroto : 21 September 2011 s/d  Nopember 2012.        
6.         Laksamana Pertama TNI Pranyoto, S.Pi : Nopember 2012 s/d 22 Februari 2013.
7.         Brigjen TNI Marinir Soedarmien Soedar : 22 Februari 2013 s/d 09 Mei 2014.
8.         Laksamana Pertama TNI I Nyoman Nesa : 09 Mei 2014 s/d Sekarang.


 Demikian sejarah singkat Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) II.

sumber Artikel : http://lantamal2.koarmabar.tnial.mil.id/index.php?option=com_content&view=article&id=217&Itemid=52