Tampilkan postingan dengan label Kota Makassar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kota Makassar. Tampilkan semua postingan

Logo LANTAMAL VI Makassar

Add Comment
I. USAHA PERINTISAN
1. Proklamasi kemerdekaan juga disambut oleh rakyat Sulawesi dengan mempersiapkan diri mempertahankan kemerdekaan yang telah diperoleh itu. Dalam suasana menggeloranya semangat perjuangan, para pemuda telah bergerak menyusun organisasi pemuda yang bersifat militer sebagai persiapan Tentara Nasional. Sampai pada permulaan bulan September 1945 sebelum pendaratan tentara Sekutu organisasi-organisasi pemuda telah terbentuk di seluruh Sulawesi Selatan baik di kota-kota maupun di desa-desa.
2. Pemuda Pelajar dan anggota-anggota perjuangan yang bersenjata lengkap yang tergabung dalam TRI telah berhasil menyusun taktik dan strategi perjuangan untuk mengangkat senjata melawan NICA. Setelah segala persiapan matang maka pada tanggal 27 oktober 1945 dimulailah perebutan kekuasaan dari tangan NICA yang berpusat di Makasar. Perlawanan pemuda pejuang dihadapi oleh NICA dan Australia dengan menggunakan senjata modern. Para pemuda dengan senjata yang ada padanya berusaha mempertahankan diri, tetapi akhirnya para pemuda terpaksa mengundurkan diri keluar kota. Dengan kegagalan gerakan ini, maka para pemuda mengalihkan pusat perjuangan keluar kota sedang pusat pemeritahan RI dipindahkan ke Polangbongkeng, yang kemudian menjadi pusat perjuangan rakyat Sulawesi Selatan. Di Polabongkeng telah disusun rencana untuk mengadakan koordinasi perjuangan seluruh Sulawesi Selatan.
3. Kegagalan perjuangan di bidang bersenjata disebabkan karena kekurangan senjata dan pengalaman, untuk menyusun kembali organisasi-organisasi perjuangan maka pemuda Sulawesi mengalihkan perhatiannya untuk mencari bantuan ke Jawa. Beberapa puluh orang pemuda ditugaskan ke Jawa, guna mengatur koordinasi perjuangan yang nantinya akan di kirim ke Sulawesi. Di pulau Jawa pemuda-pemuda tersebut kemudian berhasil menghubungi putra-putri Sulawesi baik yang tergabung dalam BKR-Laut, Darat maupun Badan-badan perjuangan lainnya.
4. Di Jawa dengan terbentuknya BKR-Laut Pusat dan di daerah maka putera-puteri Sulawesi yang mempunyai pengalaman dan darah kelautan telah ikut memperkuat BKR-Laut di Jawa. Perjuangan putera Sulawesi yang paling besar jumlahnya terdapat di Surabaya. Pada bulan September 1945 di Surabaya telah didirikan BKR Laut oleh tokoh-tokoh pelaut Sulawesi seperti A.R. Aris, A.H. Tuppu dan Ny.Barnetje Tuegeh yang bekerjasama dengan tokoh-tokoh pelaut lainnya. Kemudian kelompok tersebut berhasil membentuk Staf BKR Laut Surabaya sebagai berikut :

Komandan : A.R. Aris
Wakil komandan : R. Sutrisno
Kepala Staf Kepala Personalia/
Pengerahan : L. Mochtar
Tenaga : A.H. Tuppu
Kepala Urusan Makanan : J. Gerret.
Anggota : Ny.Barnetje Tuegeh.
Abdul Djalil
Atas inisiatif Letnan Kolonel Tuegeh, seorang tokoh TKR-Laut Surabaya telah memerintahkan satu pasukan ekspedisi dari Surabaya pada tahun 1945 menuju Tulawu (Kota Makasar) untuk membantu dan mengadakan kontak dengan para pejuang Sulawesi. Bersama ekspedisi ini Letnan Kolonel B. Tuegeh mengutus seorang kurir untuk menemui Wolter Monginsidi tokoh pejuang Sulawesi yang bergerak di Makasar. Kurir Ny. B. Tuegeh membawa pesan agar Wolter Monginsidi ikut aktif membentuk Angkatan Laut yang sudah diinfiltrasikan kesana. Ajakan ini diterima baik karena dia menyadari pentingnya peranan Angkatan Laut bagi daerahnya dalam menyusun strategi, taktik serta organisasi Angkatan Laut yang akan dibina di Sulawesi Selatan. Kemudian diadakan ekspedisi ke II atas inisiatif A.R.Aris dan B. Tuegeh dibawah J.F. Warrow dan Tomboto melalui Surabaya via Banyuwangi langsung ke Makasar. Ekspedisi berhasil mendarat dan menimbulkan hasrat yang kuat dari putera-puteri Sulawesi untuk membentuk suatu pasukan dengan tugas mendirikan Angkatan Laut di Sulawesi karena potensi yang akan menunjang pendirian ini cukup besar jumlahnya.
5. Pada bulan Desember 1945 Markas Tertinggi TKR Laut yang pada waktu itu berkedudukan di Tanggulangin menyetujui pembentukan TKR Laut Sulawesi dengan nama Angkatan Laut Republik Indonesia Persiapan Seberang. Tugas utama dari Angkatan Laut Persiapan Seberang adalah untuk mengobarkan semangat perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sesuai dengan keputusan tersebut maka pada bulan itu juga berhasil dibentuk susunan organisasi sebagai berikut :
a. Pimpinan/tenaga perencana : Djohan Dg Mamangun, Wahab Tarru Dg Mabela, Abdul Rachman Dg Mabela, Abdullah Dg. Mabela, Sjamsul Arif dan Sutrisno.
b. Tenaga pelaksana tempur : Hasan Ralla, Muh. Djafar, Manggu Dg Sialla, Muh. Arsjad Temba, A.A. Rivai, P. Abdullah, R. Nasution, M. Amir, Ahmad Lamo, Sadji, H. Hasan, M. Saidie, Ibrahim, Abd. Rahim Dg. Shabuddin, J. Kullu, A. Zaeni, Abd. Rachim Dg. Parani, E.S. Kast A.M, M. Maspi, Djurit, Abd. Haruna, Abd. Asis, Herma, Roni Bokingo, Moh. Abdu Bismilla, Sutedjo, La Ewa, Lemassese dan lain-lain.
Pada bulan ini juga mereka telah berhasil membentuk pasukan tempur dengan nama TKR Laut 0018/Ekspedisi Seberang di bawah Mayor Djohan Dg Mamangun yang bermarkas di Sidoarjo sedang sebagian pasukan bertugas di front Buduran-Waru (Surabaya). Di front ini pasukan Ekspedisi Seberang sangat giat melakukan operasi-operasi darat dalam membendung pengluasan daerah kekuasaan NICA ke daerah RI. Selama mereka melakukan operasi darat ini keanggotaan mereka bertambah besar, akhirnya menjadi 500 orang anggota bersenjata lengkap. Pada tanggal 2 Mei 1946 TKR - Laut 0018/Ekspedisi Seberang masuk menjadi bagian dari Markas Tertinggi Angkatan Laut di Lawang yang kemudian disebut sebagai Pasukan Penyelidik Seberang.
6. Pada bulan September 1946 disusun rencana pengiriman ekspedisi yang merupakan pelopor pertama dengan pembagian daerah sebagai berikut :
a. Ekspedisi ke daerah I/Mandar-Majene dibawah pimpinan Letnan II M. Amier dan Sersan Abd. Rachman.
b. Ekspedisi ke daerah II/Pare-pare dibawah Kapten Abdullah Dg. Mabella.
c. Ekspedisi ke daerah III/Barru di bawah Kapten Wahab Tarru.
d. Ekspedisi ke daerah IV/Makasar dibawah Kapten Sjamsul Arif.
e. Ekspedisi ke daerah V/Polongbongkeng dibawah Letnan I M. Arsjad Temba.
Dari kelima persiapan ekspedisi ini yang jadi berangkat adalah ekspedisi ke Daerah I/Mandar-Majene dan ke Daerah V/Polongbongkeng yang lainnya tertunda karena persiapan-persiapan mereka belum selesai. Pada awal Nopember 1946 ekspedisi ke daerah I dan V bertolak dari pelabuhan Pasuruan.
7. Ekspedisi ke Daerah I yang dipimpin oleh Letnan II Amier dan Sersan Abd. Rachman telah mendarat di Paotere (Makasar) pada tanggal 20 Nopember 1946. Sesuai dengan tugas diberikan kepada Letnan II Amier berhasil menghubungi Pimpinan Pasukan "Harimau Indonesia" dibawah pimpinan Ali Malaka di kampung Kaluku Badoa Makasar, maka tercapailah suatu persetujuan antara Letnan II Amier dengan pucuk pimpinan Harimau Indonesia dengan keputusan bahwa Pasukan Harimau Indonesia dilebur menjadi ALRI.
8. Dalam perkembangan ALRI Daerah I dan Daerah III dalam masa konsolidasi ini keanggotaan ALRI telah dapat mencapai sekitar 2500 anggota. Hasil yang dicapai oleh ALRI Seberang yang telah dapat mengkoordinasikan pemuda-pemuda pelaut Sulawesi Selatan kedalam organisasi ALRI merupakan potensi yang penting bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Sulawesi Selatan.
9. Untuk memperluas daerah ALRI di Sulawesi Selatan agar dapat mewujudkan pembentukan daerah ALRI seperti yang telah direncanakan oleh ALRI-PS pada bulan September 1946 pembinaan ALRI di Sulawesi Seberang di ambil alih oleh MPA (Markas Pertahanan ALRI). MPA telah berhasil menyusun suatu ekspedisi yang lebih besar dan kuat serta lengkap, maka pada tanggal 27 Januari 1947 ekspedisi berangkat dari pelabuhan Panarukan yang dinamakan ekspedisi ke II dengan daerah sasarannya Daerah II/Pare-pare dan Daerah III/Baru.
10. Pada tanggal 17 Pebruari 1947 rombongan mendarat di pantai Barru tetapi kemudian berhasil ditawan seluruhnya oleh NICA. Tertangkapnya seluruh anggota rombongan adalah karena mereka tidak mendapat info pertempuran di Daerah I ini. Pasukan ALRI -PS dibawah komandan Abd. Hae dengan giat mengadakan penyerangan pos-pos polisi dan kubu-kubu pertahanan NICA serta penghadangan patroli-patroli NICA. Sebagai pembalasan serdadu-serdadu NICA dibawah pimpinan Westerling menjalankan taktik penghancuran total terhadap unsur-unsur ALRI di dalam daerah kekuasaannya. Kubu-kubu pertahanan ALRI-PS Daerah I/Mandar mendapat serangan yang sangat berat dari pasukan Westerling pada permulaan Pebruari 1947. Dalam pertempuran di daerah ini banyak anggota staf dan pasukan gugur termasuk Abd. Hae sendiri, kemudian yang selamat melarikan diri ke pedalaman dan ada yang ke Jawa.
11. Meninjau keadaan Sulawesi dirasakan bahwa situasi tidak mengizinkan lagi untuk bertahan lebih lama sedangkan perlengkapan makin berkurang dan juga untuk menghindarkan korban yang terlalu banyak di kalangan rakyat karena aksi Westerling. Atas pertimbangan ini maka sisa pasukan ekspedisi memutuskan untuk kembali ke Jawa pada tanggal 30 Mei 1947.
12. Setelah pengakuan Kedaulatan RI, banyak anggota-anggota bekas TRI Seberang dan ALRI Seberang dari Sulawesi Selatan yang dibebaskan dari tawanan Belanda bergabung dengan induk pasukannya kembali yang menjadi Angkatan Darat. Demikian juga yang terjadi di Sulawesi Selatan pasukan-pasukan ALRI yang berasl dari TRI-PS dan ALRI-PS yang berhasil dibina disana sesuai dengan ketetapan Pemerintah dilebur ke dalam Angkatan Darat. Batalyon-batalyon TLRI yang dulunya merupakan pasukan ekspedisi yang kemudian bertugas di Makassar telah menjadi Angkatan Darat yakni Batalyon 719, Batalyon Andi Selle, Batalyon 711, Batalyon Abdullah dan sebagian lagi masuk Kepolisian Negara. Dengan demikian maka anggota-anggota ekspedisi ALRI Divisi VI Sulawesi Selatan tidak meneruskan kariernya dalam ALRI, kecuali beberapa orang saja.

II. PEMBENTUKAN SECARA FISIK.
Secara fisik unsur TNI AL di Makassar telah terbentuk sejak Tahun 1950 dan seiring dengan berjalannya waktu, maka nama organisasi, jumlah personel, fasilitas dan kemampuannya berubah menyesuaikan perkembangan organisasi TNI Angkatan Laut pada masanya.
13. KKAL Makassar (1950-1952). Meletusnya Peristiwa Andi Azis dan Pemberontakan Republik Maluku Selatan pada Tahun 1950, keamanan diwilayah Indonesia bagian Timur terganggu. Setelah pemberontakan tersebut berhasil ditumpas, pemimpin ALRI saat itu memandang perlu membentuk unsur ALRI dalam rangka memulihkan keamanan wilayah maritim Indonesia bagian Timur, maka dibentuklah Kedinasan Kota Angkatan Laut Makassar yang disingkat KKAL Makassar berdasarkan Surat Perintah Kasal Nomor : G.1/6/9 tanggal 1 Juli 1950 dengan tugas pokok :
a. Mengurus kepentingan ALRI didaerah ini, bekerja sama dengan instansi sipil maupun militer.
b. Memberi bantuan logistik kapal-kapal armada yang berlabuh di pelabuhan Makassar dan yang beroperasi di wilayah Indonesia bagian Timur.
Untuk pertama kalinya, Komandan KKAL dijabat oleh Kapten Laut Soekoyo dengan kegiatan masih sangat terbatas karena kurangnya personel dan fasilitas. Tempat penampungan anggotanya adalah bangunan Bara-Baraya (sempat menjadi Fakultas Ekonomi Unhas, saat ini menjadi Gedung Serbaguna Unhas di Jl. Sunu).
14. Komalko M.M (1952-1953). Berdasarkan Skep Kasal Nomor : 17/I/3 tanggal 29 Maret 1952, KKAL Makassar berubah sebutannya menjadi Komando Angkatan Laut Kota Makassar-Malino (Komalko M.M.) dengan tugas utama :
a. Mengurus kepentingan Mako dalam bidang personel, material dan fasilitas yang ada di kota Makassar dan Malino.
b. Memberi dukungan logistik kapal-kapal Armada yang beroperasi diperairan Indonesia bagian Timur dan Tengah di pelabuhan Makassar.
Jabatan Komandan kembali dipercayakan kepada Kapten Laut Soekoyo dan dalam rangka mengamankan kota Makassar diikutsertakan anggota KKO AL untuk membantu patroli Komando Militer Kota Makassar dengan Komandan Peleton yang pertama adalah Letnan Koesnaniwoto.
15. KDMM (1953-1960). Berdasarkan Skep Kasal Nomor : A.17/I/9 tanggal 25 September 1953, Komalko M.M. berubah nama menjadi Komando Daerah Maritim Makassar (KDMM). Tanggal 2 Oktober 1953, Mayor Laut R.E. Martadinata atas nama KSAL melantik Mayor Laut A.F. Langkay menjadi Komandan KDMM.
Tugas pokok KDMM adalah :
a. Mengawasi daerah laut serta memelihara ketertiban dan keamanan diperairan Kalimantan Selatan mulai dari Sungai Sampit Kalimantan Timur sampai Kalimantan Inggris dan perairan Pulau Sulawesi.
b. Membina administrasi dan ketertiban anggota Angkatan Laut yang berkedudukan diwilayah KDMM.
c. Memegang Komando Operasi atas Satuan Angkatan Laut yang berkedudukan dibawahnya.
Pada periode ini, KDMM berkembang dengan pesat, baik jumlah personel, material dan fasilitas dengan melaksanakan pembangunan-pembangunan :
a. Pembangunan Kompleks Maciniayu.
b. Pembangunan Kompleks Layang dan Markas KDMM.
c. Pembangunan Stasion Angkatan Laut Manado dan Stasion Angkatan Laut Makassar sebagai hasil penukaran dengan Ksatrian Angkatan Laut Malino.
d. Pembangunan Stasion Angkatan Laut Banjarmasin pada tanggal 20 Juli 1960.
Pejabat Komandan KDMM :
a. Mayor Laut A.F. Langkay (1953-1956).
b. Mayor Laut E.H. Thomas (1956-1958).
c. Mayor Laut D. Napitupulu (1958-1959).
d. Mayor Laut Ali Yusran (1959-1960).
16. Kodamar-V (1960-1966). Berdasarkan Skep Kasal Nomor : A.4/6/60 tanggal 18 oktober 1960, KDMM berubah sebutan menjadi Komando Daerah Maritim-V (Kodamar-V) serta perubahan sebutan jabatan Komandan menjadi Panglima.
Pada periode ini, Kodamar-V membangun beberapa fasilitas meliputi :
a. Pembangunan Dermaga Layang.
b. Pembangunan Gedung Staf.
c. Pembangunan Gedung Perbekalan.
d. Pembangunan Kompleks Tabaringan.
e. Mendirikan Penataran Angkatan Laut/ Fasharkan pada tanggal 1 Juli 1962, penyerahan dari Pelni kepada Angkatan Laut dalam rangka persiapan Trikora.
Pejabat Panglima Kodamar-V :
a. Letkol Laut Panggabean (1961-1963).
b. Kolonel Laut Soedjadi (1963-1966).
c. Komodor Laut Marwidji (1966 sd perubahan menjadi Kodamar-8)
17. Kodamar-8 (1966-1970). Berdasarkan Telegram Men/Pangal TW. 280410 z/ Feb.’67 tantang penertiban dan penomoran Kodamar, diatur urutan nomor yang dimulai dari Barat ke Timur, maka Kodamar-V menjadi Kodamar-8 dengan wilayah tanggung jawab pada wilayah laut Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dengan tugas :
a. Tugas Polisionil, bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan wilayah perairan Provinsi Sulseltra.
b. Tugas Pertahanan dalam rangka menjaga integritas wilayah perairan Provinsi Sulseltra.
c. Tugas Pembinaan, bertanggung jawab atas pemeliharaan kapal-kapal operatif yang berada di bawah wilayahnya.
Pejabat Panglima Kodamar-8 :
a. Komodor Laut Marwidji (1966-1969).
b. Komodor Laut Waloeyo Soegito (1969 sd menjadi Daeral-VII)
Kolak yang berada dibawah Kodamar-8 adalah :
a. Kosubmarsional 801/ Makassar.
b. Kosubmarsional 802/ Pare-pare.
c. Kosunmarsional 803/ Kendari.
d. Kosubmarsional 804/ Bau-bau.
18. Daeral-VII (1970-1985). Dalam rangka konsolidasi dan reorganisasi serta integrasi antar angkatan sesuai Keppres No. 79 dan 80 Tahun 1969 serta peraturan-peraturan penyempurnaannya, maka berdasarkan kawat Kasal TW 301640 Z/Mrt/70, Kodamar-V berubah menjadi Daerah Angkatan Laut-VII (Daeral-VII) dengan tugas pokok :
a. Membina sistim pangkalan Angkatan Laut dalam daerah hukumnya dalam tingkat kesiagaan yang cukup untuk sewaktu-sewaktu mampu mendukung satuan operasi Angkatan Laut.
b. Membina tingkat kekuatan dan kesiagaan yang cukup untuk sewaktu-waktu mampu diikut sertakan dalam penyelenggaraan Hankamnas di wilayah Daeral-VII.
Panglima Daeral-VII :
a. Komodor Laut Waloeyo Soegito (1970-1972).
b. Laksma TNI Atmodjo Brotodarmodjo (1972-1976).
c. Laksma TNI A. Rachman (1976-1977).
d. Laksma TNI S. Reksodihardjo (1977-1981).
e. Laksma TNI Roesdi Roesli (1981-1982).
f. Laksma TNI Sriwaskito (1982-1985).
Kolak jajaran Daeral-VII adalah :
a. Lanal UPG berkedudukan di Ujung Pandang.
b. Sional BPP berkedudukan di Balikpapan.
c. Sional PDA berkedudukan di Donggala.
d. Sional KDI berkedudukan di Kendari.
e. Perwal BSN berkedudukan di Banjarmasin.
f. Posal Bau-bau berkedudukan di Bau-bau.
Berdasarkan Skep Kasal Nomor : Skep/ 5030.1 Tahun 1970 tanggal 18 Pebruari 1970, Daeral-VII dianugerahi Pataka yang merupakan lambang Daeral-VII dengan motto ”Jala Kartika Gakti” yang berarti Penguasaan laut adalah syarat mutlak bagi kejayaan dan kebahagiaan bangsa Indonesia seluas samudera, setinggi bintang loyalitas kita dalam mendharma bhaktikan diri.
19. Lanal Ujung Pandang (1985-1992). Berdasarkan Skep Kasal Nomor : Skep/1234/ V/ 1985 tanggal 31 Mei 1985 terjadi likuidasi/ penghapusan Daeral-daeral menjadi Lantamal-Lantamal, unsur yang tersisa adalah Lanal Ujung Pandang dengan pejabat Komandannya adalah Kolonel Laut (P) A. Nawir. Selanjutnya Mako Lanal Ujung Pandang menempati Mako eks Daeral-VII dengan kedudukan dibawah Lantamal Bitung.
Pejabat Danlanal Ujung Pandang :
a. Kolonel Laut (P) A. Nawir (1985-1987).
b. Kolonel Laut (P) Syahrawi A.K. (1987-1988).
c. Kolonel Laut (P) Sugirwadi Prayoga (1988-1989).
d. Kolonel Laut (P) Kuryono (1989-1992).
20. Lantamal Ujung Pandang (1992). Berdasarkan Keputusan Kasal Nomor : Kep/ 02/ VII/ 1992 tanggal 11 Juli 1992 tentang Perubahan Status Pangkalan-pangkalan TNI AL dan Pergeseran Kedudukan Guskamla, disebutkan diantaranya perubahan status Lantamal Bitung menjadi Lanal Bitung dan Lanal Ujung Pandang menjadi Lantamal Ujung Pandang. Dengan adanya perubahan tersebut maka Lantamal Bitung melaksanakan Operasi Geser-92 berdasarkan R.O. Gelar-92 yang diterbitkan oleh Pangarmatim. Pergeseran meliputi pergeseran personel, material serta dokumen dari Bitung ke Ujung Pandang. Danlantamal Bitung saat itu, Kolonel Laut (P) Hambar Martono kemudian menjadi Danlantamal Ujung Pandang sampai dengan perubahan nama menjadi Lantamal-IV.
21. Lantamal-IV (1992-2006). Berdasarkan Keputusan Kasal Nomor : Kep/ 03/ VIII/ 1992 tanggal 22 Agustus 1992 tentang Perubahan Sebutan Pangkalan-pangkalan Utama TNI AL, maka sebutan Lantamal Ujung Pandang berubah menjadi Lantamal-IV. Berdasarkan Skep Kasal Nomor : Skep/ 2925/ IX/ 1992 tanggal 23 September 1992, Lantamal-IV dianugerahi Pataka dengan motto ”Samapta Rumeksa” yang seluruhnya baik lambang maupun warnanya mengandung arti ”Kekuatan yang selalu siap untuk memberikan dukungan perawatan dan pemeliharaan secara cepat dan tepat”.
Pejabat Danlantamal-IV :
a. Laksma TNI Hambar Martono (31/08/92-01/09/93).
b. Laksma TNI Sugiyarto (01/09/93-05/09/94).
c. Laksma TNI Haryo Armanto (05/09/94-15/02/96).
d. Laksma TNI Totok MK Laksito (15/02/96-22/07/97).
e. Laksma TNI Hari Muljo (22/07/97-27/03/00).
f. Brigjen TNI (Mar) Prayitno S.ip (27/03/00-09/07/01).
g. Laksma TNI Masruchan (09/07/01-02/08/02).
h. Brigjen TNI (Mar) Herman Rastam (02/08/02-24/06/03).
i. Laksma TNI Suharso Riyadi (24/06/03-15/07/05).
j. Laksma TNI Fanani Tedjokusumo (15/07/05-23/06/06).
k. Laksma TNI Ir. Gatot Sudijanto (23/06/06 sd menjadi Lantamal-VI).
22. Lantamal-VI (2006-Sekarang). Berdasarkan Keputusan Kasal Nomor : Kep/ 10/ VII/ 2006 tanggal 13 Juli 2006 tentang Perubahan Penomoran Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal), terjadi perubahan penomoran Lantamal yang diurutkan berdasarkan letak dan posisi geografisnya dari Barat ke Timur, maka Lantamal-IV berubah menjadi Lantamal-VI.
Pejabat Danlantamal-VI :
a. Laksma TNI Ir. Gatot Sudijanto (13/07/06 - 04/01/08).
b. Laksma TNI Ign. Dadiek Surarto (04/01/08 - 29/08/09).
c. Laksma TNI Bambang Wahyudin (29/08/09 - 09/07/10)
d. Brigjen TNI Marinir Chaidier Patonnory (09/07/10 - 30/09/11)
e. Brigjen TNI Marinir M. Suwandi M.T. (30/09/11 - xx/xx/xx)
f. Laksma TNI Arie Soedewo, SE (xx/xx/xx - 19-06-2014)
g. Laksma TNI Rudito Hadi Purwanto (19-06-2014 - Sekarang)
h.
III. PENUTUP
23. Demikianlah sejarah terbentuknya unsur TNI AL di Makassar mulai dari KKAL Makassar sampai dengan Lantamal-VI sekarang ini dengan demikian, maka tanggal 1 Juli 1950 dapat dikatakan sebagai hari kelahirannya.
Sumber :
1. Subdisjarah Dispenal.
2. Cakrawala No. 260/ XXI Tanggal 5 Juli 1982.
3. Buku Sejarah TNI Jilid I - V

Sumber Artikel : http://www.lantamal-6.mil.id/profil/sejarah

Souvenir Khas Kota Daeng Makassar

2 Comments
Souvenir Khas Kota Makassar
Kota Makassar, ibu Kota provinsi sulawesi Selatan ini merupakan Kota terbesar di Indonesia Timur dan masuk dalam 10 besar kota dengan penduduk terbesar di Indonesia, kota yang di juluki Kota Daeng ini pernah menjadi Kiblat Pendidikan Indonesia bagian timur, kota ini pernah di beri nama kota Ujung Pandang. berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010, jumlah Penduduk Kota Makassar sebesar 1.338.663 Jiwa.

Berbicara masalah Souvenir khas atau oleh-oleh khas dari Kota Makassar, tentunya akan mencakup souvenir khas atau oleh-oleh dari semua wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan, dan sudah barang tentu juga  banyak jenis souvenir yang khas dari Kota Makassar ini, namun disini kita akan menyebutkan souvenir khas yang memang paling menonjol dan yang sudah berlaku secara turun temurun bagi mereka yang hendak berkunjung ke Kota Makasar ini.
si Admin mencoba akan meyebutkan satu persatu souvenir khas dari kota Makassar ini, mulai dari yang paling banyak di kenal hingga yang kurang di kenal,baik itu berupa barang yang bisa di bawa pulang, Seni Kerajinan tradisonal, masakah Khas, atau lainnya yang berkategori oleh-oleh atau souvenir ini. tentunya dalam penulisan ini mungkin saja terdapat kekeliruan, namun tidak ada salahnya jika tulisan ini menjadi rintisan artikel tentang souvenir khas kota Makassar ini. berikut adalah hasil kutipan tentang Souvenir yang khas dari Kota Makassar.

1.    Kain Tenun Bugis
Hampir semua daerah di Indonesia mempunyai kain khas. Jika Sumatera Barat punya songket khas Pandai Sikek, Makassar memiliki kain tenun Bugis. Dengan corak dan warna yang beragam merupakan salah satu suvenir unik di Makassar. Dalam jenis katun dan sutera dengan harga Rp 35-200 ribu/meter.
2.    Sarung Tenun bugis
Kaum adam senang dengan sarung tenun khas Bugis. Ini adalah kain sarung yang merupakan dari kain tenun. Harganya mulai dari Rp 20 ribu sampai ratusan ribu per buah. Semua tergantung jenis bahan yang digunakan.
3.    Songkok
Setelah kain tenun Bugis, ad juga songkok yang merupakan kopiah Makassar cukup khas ketimbang songkok dari daerah lain. Dibuat dari anyaman rotan dengan warna kuning. Namun harga satu songkok adalah Rp 200.000.
4.    Minyak Gosok Cap Tawon
Nama Minyak Gosok Cap Tawon pasti pernah kita dengar. Banyak para wisatawan yang liburan di kota Makassar yang senang membeli minyak gosong karena bermanfaat dalam menyembuhkan banyak penyakit. Hadir dalam dua macam yaitu tutup botol merah dan putih dengan harga Rp 90.000 dan Rp 230.000.
5.    Balsem Cap Tawon
Balsem Cap Tawon juga merupakan salah satu oleh-oleh khas Makassar yang tak boleh ketinggalan dibeli. Memiliki nama yang sama, balsem ini hadir dengan aroma dan kehangatan yang sama dengan Minyak Gosok Cap Tawon. Anda bisa mendapatkan balsem ini dengan harga Rp 8.500/buah.

Adapun toko yang menjual berbagai oleh-oleh souvenir khas kota Makassar ini tersebar di semua penjuru Kota Makassar,berikut beberapa toko yang menjual souvenir khas kota Makassar.

1. TokoSerba Oleh-Oleh (Khas Makassar)
Toko ini beralamat di jln. Somba Opu no 143 Nomor Telp. 0411-322108 Makassar

2. Toko Mentari ( Spesial Oleh-oleh Mentari)
Toko ini beralam di Jln. Somba Opu No. 140, Telp. 0411-3635370, email :tokomentari_ole2@yahoo.com, Makassar

3. Toko Monas Jaya
Toko ini beralamat di Jln. Somba Opu No. 12. Telp 0411- 318581. Makassar
4. Toko Tahir (Kain Bugis)
Toko ini beralamat di Jln. Somba Opu No. 155. Telp 0411-3610647
5. Toko Sutra
Toko ini beralamat di Jln. Somba Opu No. 194. Telp. 0411-314364

Dan masih banyak lagi toko yang menyediakan oleh-oleh khas kota Makassar Sulawesi Selatan.

Demikian catatan admin tentang souvenir khas Kota Makassar, nantikan catatan selanjutnya tentang souvenir khas kota di semua daerah di Indonesaia, Salam Blogger.

Baca Juga Artikel terkait berikut :

Logo Kota Makassar

Add Comment
Logo Kota Makassar
Arti makna Lambang Kota Makassar :

1. Perisai putih sebagai dasar melambangkan kesucian

2. Perahu yang kelima layarnya sedang terkembang melambangkan bahwa Kota Makassar sejak dahulu kala adalah salah satu pusat pelayaran di Indonesia

3. Buah padi dan kelapa melambangkan kemakmuran

4. Benteng yang terbayang di belakang perisai melambangkan kejayaan Kota Makassar

5. Warna Merah Putih dan Jingga sepanjang tepi perisai melambangkan kesatuan dan kebesaran Bangsa Indonesia

6. Tulisan “Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut Ke Pantai”, menunjukan semangat kepribadian yang pantang mundur.

Sejarah Kota Makassar

Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.

Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangannya yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan¬kerajaan kecil disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil tainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian lawan-tawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru itu.


Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan¬-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar.

Sampai pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan¬-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.

Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG

MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9
   
Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.

Para ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut dalam jaringan perdagangan internasional, dan interaksi dengan komunitas kota yang kosmopolitan itu me¬nyebabkan sebuah "creative renaissance" yang menjadikan Bandar Makassar salah satu pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Koleksi buku dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih langkah di Eropa, yang terkumpul di Makassar, konon merupakan salah satu perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan para sultan tak segan-segan memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh pelosok bumi, termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada waktunya, yang dipesan secara khusus

dari Eropa. Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memper-luas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.

Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.

Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673
   
ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan 'kota baru' yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan 'Vlaardingen'. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang, seluruh kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada pertengahan abad ke-18 jumlah itu meningkat menjadi sekitar 5.000 orang, setengah di antaranya sebagai budak.

Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang tertupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke-19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer yang ditancurkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, 'Kota Kompeni' itu hanya berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah tanpa hinterland - bentuknya pun bukan 'bentuk kota', tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.

Pada awalnya, kegiatan perdagangan utama di beras Bandar Dunia ini adalah pemasaran budak serta menyuplai beras kepada kapal¬kapal VOC yang menukarkannya dengan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an di abad ke-18, pelabuhan Makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa hasil laut dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC.

Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk men¬carinya; bahkan, sejak pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.

Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional.

Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar, jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki "kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang penulis Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.

Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indo¬nesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha

dikutip dari : http://bahasa.makassarkota.go.id