Pangkalan Utama TNI AL V (Lantamal V) adalah
salah satu dari beberapa pangkalan militer Angkatan Laut di Indonesia,
jumlah pangkalan di Indonesia berjumlah 11 pangkalan antara lain,
Lantamal I Belawan, Lantamal II Padang, Lantamal III, Jakarta, Lantamal
IV Tg. Pinang, Lantamal V Surabaya, Lantamal VI Makasar, Lantamal VII
Kupang, Lantamal VIII Menado, Lantamal IX Ambon, Lantamal X Jayapura dan
Lantamal XI Merauke.
Dari
11 pangkalan Lantamal V adalah yang terbesar dan mempunyai fasilitas
pangkalan yang terlengkap, hampir separuh kekuatan Angkatan Laut
Indonesia berada di Surabaya, hal ini menunjukkan betapa pentingnya
Pangkalan Utama TNI AL V Surabaya. Melihat dari sejarahnya bahwa
pangkalan tersebut di bangun sejak jaman penjajahan Belanda pada
tahun1878.
Belanda
memerlukan pangkalan untuk memperlancar misinya didalam menjajah
Republik Indonesia dan mengambil hasil bumi yang akan dikirim
kenegaranya. Tahun 1942 Belanda menyerah dengan Jepang, dengan
menyerahnya Belanda, Jepang melanjutkan penjajahan di Indonesia selama
3,5 tahun yang membuat Negara Indonesia mengalami kesengsaraan yang amat
sangat, Jepang yang saat itu berperang melawan Sekutu memerlukan
dukungan logistic yang sangat besar, Indonesia menjadi perahan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Tahun 1945 Sekutu mengebom Kota Hiroshima
dan Nagasaki dan akhirnya Jepang menyerah kepada sekutu, Hal ini
dimanfaatkan oleh para pejuang Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Sejarah singkat Angkatan Laut pada masa perjuangan kemerdekaan.
Kekalahan
kekaisaran Jepang dalam Perang Pasifik (1941-1945) ditandai dengan
peandatanganan pernyataan menyerah tanpa syarat seluruh kekuatan militer
Jepang kepada sekutu di atas kapal perang AL Amerika USS Missouri.
Setelah penandatanganan kemudian dilanjutkan dengan pengumuman kepada
seluruh kesatuan Jepang di wilayah pendudukan untuk tidak melakukan
kegiatan apapun sementara menunggu kedatangan pasukan sekutu yang akan
melucuti dan memulangkan mereka ke negara induk Jepang. Berita
penyerahan Jepang kepada sekutu diumumkan keseluruh penjuru dunia
melalui radio. Para tokoh pergerakan Indonesia yang mendengar hal
tersebut memanfaatkan momen itu dengan segera mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia. Tapi hal tersebut tidak berjalan dengan mudah karena pasukan
Jepang yang berada di Indonesia tidak mendukung, mereka mempertahankan
status quo dalam rangka penyerahan wilayah Indonesia kepada pihak
sekutu, hal ini merupakan tantangan bagi para pejuang kemerdekaan untuk
dapat memproklamirkan kemerdekaan sebelum pihak sekutu yang dibonceng
Belanda tiba di Indonesia.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 akhirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
dikumandangkan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Hal tersebut
disambut oleh para pejuang didaerah dengan membentuk badan perjuangan.
Badan-badan perjuangan inilah yang aktif melakukan pengambil alihan
berbagai fasilitas pemerintahan, baik sipil, militer maupun kepolisian
dari tangan pemerintah dan balatentara kekaisaran Jepang, termasuk
merebut dan mengambil alih persenjataan.
Para
pemuda dan tokoh kemerdekaan yang pernah mengikuti organisasi atau
pendidikan kemiliteran, baik semasa kolonial Belanda maupun pendudukan
Jepang, membentuk suatu badan kemiliteran yaitu Badan Keamanan Rakyat
(BKR) pada tanggal 22 Agustua 1945. Dikalangan para pejuang Bahari, para
pemuda meresponnya dengan membentuk BKR Laut yang diresmikan pada
tanggal 10 September 1945, Badan inilah yang kemudian
menjadi BKR Laut pusat yang berkedudukan di Jakarta. Setelah itu dengan
pembentukan BKR-BKR Laut di daerah-daerah termasuk Surabaya.
Pada
perkembangannya untuk menyesuaikan dengan situasi pada tanggal 05
Oktober 1945 Pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat No. 2/X yang
secara resmi merubah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kemudian
BKR Laut menyesuaikan menjadi TKR Laut. Di bidang organisasi , TKR Laut
terjadi perkembangan menyangkut penegasan terhadap fungsi dan tugas
utamanya, sehingga dibentuklah system pangkalan di setiap daerah dimana
TKR laut berdiri.
Awal Berdirinya Pangkalan
TKR Laut di rubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada tanggal 25 Januari 1946, pada Pebruari 1946 berubah menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) diresmikan Pemerintah RI pada tanggal 19 Juli 1946.
berkaitan dengan hal perubahan tersebut pangkalan-pangkalan TKR Laut
menjadi Pangkalan ALRI. Pada saat itu ALRI dipimpin oleh Ketua Umum
Laksamana III M. Pardi, pada priode tersebut (1946-1947) ALRI tercatat
memiliki 12 Pangkalan di Pulau Jawa yaitu Pangkalan I Serang, Pangkalan
II Karawang, Pangkalan III Cirebon, pangkalan IV Tegal, Pangkalan V
Pemalang, Pangkalan VI Juwana, pangkalan VII Surabaya, Pangkalan VIII
Madura, Pangkalan IX Probolinggo, Pangkalan X Banyuwangi, Pangkalan XI
Pacitan dan Pangkalan XII Cilacap.
Pertempuran Memperebutkan Pangkalan Di Surabaya dari Jepang.
Pada
masa penjajahan Belanda maupun Jepang Surabaya merupakan pangkalan
utama bagi pasukan penjajah Balanda maupun Jepang, sehingga di Surabaya
banyak pendidikan yang berunsur kelautan yang diselenggarakan oleh
Belandan Maupun Jepang, banyak para pemuda di Surabaya mengikuti
pendidikan tersebut sehingga ketika terjadi perebutan pangkalan di
Surabaya para pemuda tersebut memegang peranan.
Pembentukan
BKR Laut di Surabaya lebih pesat dan cepat dibandingkan dengan
pembentukan didaerah lainnya, para pemuda yang pernah mengikuti
pendidikan KoninklijKe Marine pada jaman Belanda maupun yang pernah
mengikuti pendidikan Jawa Unko Kaisya, Akatsuki Butai ataupun Kaigun SE
21/24 Butai dan lain-lain pada jaman penjajahan Jepang membantu cepatnya
proses pembentukan BKR Laut di Surabaya.
Setelah
kemerdekaan Republik Indonesia di kumandangkan, untuk pangkalan
Angkatan Laut di Surabaya masih dikuasai oleh Jepang, pada bulan Oktober
1945 datanglah Atmadji yang diutus oleh menteri Amir Syarifuddin untuk
membentuk Angkatan Laut di Surabaya, untuk melaksanakan tugasnya itu
Atmadji menemui dr. Mustopo yang pada waktu itu menjabat sebagai
pimpinan umum BKR Surabaya. Hasil pembicaraaan kedua tokoh tersebut
ialah dengan diangkatnya Atmadji sebagai penasehat pada Penataran
Angkatan laut (PAL).
Pada
tanggal 17 Oktober 1945. Pemerintah setempat melalui radio pemberontak
memanggil pemuda-pemuda bekas pelaut zaman Belanda dan zaman Jepang
untuk mengabdikan diri menjadi Angkatan Laut. Untuk menampung
pelaut-pelaut tersebut maka dibentuklah Marine Keamanan Rakyat (MKR)
pada tanggal 18 Oktober 1945 dipimpin oleh Atmadji.
Perkembangan
selanjutnya Atmadji dapat dengan cepat berhasil mengkoordinasikan
segala organisasi yang beraspek kelautan dan membentuk Markas Tertinggi yang
berkedudukan di Wonocolo Surabaya dan karena situasi petempuran untuk
mempertahankan kota Surabaya hingga akhirnya bergeser sampai ke Lawang.
Kegiatan badan-badan yang beraspek kelautan di bidang operasi di
pusatkan pada tugas pengambil alihan kekuasaan dari pemerintahan
Jepang,. Pada tanggal 2 Oktober 1945 sesuai dengan keputusan antara
pimpinan BKR Surabaya, pimpinan PAL, BKR Laut, Kepolisian dan
badan-badan perjuangan lainnya maka diadakanlah gerakan pengambilalihan
seluruh Komplek Pangkalan Utama Angkatan Laut Ujung Surabaya.
Serangan
dilakukan dari tiga jurusan masing-masing dari Ujung, Komplek kantor
Mokojosang dan dari Tanjung Perak. Pihak RI mengerahkan kekuatan lebih
kurang 8.000 orang yang terdiri dari pasukan PAL dan BKR Laut 3000 orang
serta dari badan-badan perjuangan 5000 orang serta dari kepolisian.
Pada
pukul 08.00 tanggal 2 Oktober 1945, pasukan bergerak mendekati Komplek
Penataran Angkatan Laut, melihat kekuatan dari pihak RI sangat besar,
maka pasukan Jepang yang bertugas menjaga Komplek tersebut tidak
mengadakan perlawanan sehingga dengan mudah dapat dilucuti senjatanya
dan di tawan oleh pasukan RI. Pukul 10.00 WIB seluruh Komplek Pangkalan
Angkatan Laut sudah dapat dikuasai, para tawanan tentara
Jepang lalu di kumpulkan di lapangan Pasiran selanjutnya dibawa ke kamp
tawanan. Bendera Merah Putih Berkibar di Komplek Pangakalan Angkatan
laut Ujung Surabaya kemudian pimpinan umum PAL Moch. Affandi
memerintahkan kepada pasukan PAL (PRIAL dan BBIPAL) agar kembali ke pos
masing-masing untuk menjalankan tugasnya kembali.
Pada tanggal 3 Oktober 1945
Pimpinan BKR umum dan BKR Laut menyusun dan mengatur penjagaan di
daerah Ujung dengan menggunakan pasukan dari tiga unsur tersebut, sedang
pimpinannya diserahkan kepada Munadji, Katamhadi, Soetopo dan Soetedjo
Eko. Tindakan selanjutnya adalah mengirim delegasi kepada pembesar/
pimpinan Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu Surabaya agar mengakui
secara resmi atas penyerahan Pangkalan Ujung.kepada RI, pimpinan
angkatan laut Jepang bersedia mengadakan penyerahan secara resmi asal
didalam melaksanakan serah terima puhak RI diwakili oleh
seorang pejabat yang kedudukannya setingkat dengan pihak Jepang. Setelah
diadakan perundingan diantara unsur-unsur pimpinan BKR Darat, BKR Laut,
PAL dan pemerintah daerah Jawa Timur maka ditetapkan wakil Gubernur
Sudirman sebagai wakil RI dalam upacara serah terima tersebut.
Pada tanggal 7 Oktober 1945
di kantor Gubernur Surabaya diselenggarakan upacara timbang terima
secara resmi atas seluruh Komplek Pangkalan Angkatan Laut Ujung Surabaya
dari Kaigun Seiko Sikikan kepada Pemerintah RI. Dalam upacara tersebut
pihak Kaigun diwakili oleh Laksamana Muda Mori Takeo yang bertindak atas
nama Kaigun Seiko Sikikan Laksamana Madya Sjibata Yaichiro, sedangkan
dari pihak RI diwakili oleh wakil Gubernur Jawa Timur
Sudirman. Hadir dalam upacara tersebut beberapa pimpinan dari Komite
Nasional Indonesia Jawa Timur yakni B. Soeprapto, Moch. Affandi dan
Moenadji.
Dengan
diserahkannya secara resmi Pangkalan Angkatan Laut Ujung dari pihak
Jepang kepad pihak RI maka secara de jure dan de facto telah dikuasai
oleh RI, ini merupakan modal utama bagi para pejuang bahari untuk
membangun Angkatan Laut selanjutnya karena dengan diserahkannya Pangkalan
tersebut seluruh asset yang ada didalamnya berupa gedung-gedung,
mesin-mesin di komplek PAL, sejumlah kapal kayu dan kapal perang,
senjata dan lain-lain dapat dipergunakan sepenuhnya untuk membangun
Angkatan Laut di Surabaya.
.
Kedatangan Pasukan Sekutu Di Surabaya Yang Diikuti Pasukan Belanda.
Pasukan
TKR Laut Surabaya telah berkembang dengan pesat, tetapi hal tersebut
tidak dapat berlangsung lama setelah penyerahan Pangkalan Angkatan Laut
Ujung datanglah pasukan Sekutu untuk menerima penyerahan daerah Surabaya
dari pihak Jepang, pada awalnya para pejuang berusaha untuk menahan
diri agar tidak ada kontak dengan pihak sekutu tetapi hal tersebut
berubah ketika diketahui pasukan tentara Belanda juga mendompleng pihak
sekutu untuk kembali di Surabaya dan berniat menguasai kembali kota
Surabaya, maka terjadilah kontak senjata antara para
pejuang Surabaya dengan pihak Sekutu yang bergabung dengan pasukan
Belanda, pada situasi tersebut tewaslah Jenderal Mallaby di daerah
Jembatan Merah sehingga sekutu beranggapan para pejuang harus
bertanggung jawab atas kejadian tersebut dan memerintahkan para pejuang
untuk segera menyerah dan menyerahkan senjata tetapi hal tersebut
ditentang oleh para pejuang sehingga terjadilah pertempuran sengit
selama tiga minggu.
Sejajar
dengan berkobarnya pertempuran yang terjadi di Surabaya pada tanggal 27
s/d 29 Oktober 1945 dan mencapai klimaksnya pada tanggal 10 Nopember
1945, dengan situasi pertempuran di wilayah Surabaya maka pembentukan
pangkalan Angkatan Laut bergeser ke daerah Tanggulangin Sidoarjo dan
konsentrasi perjuangan berada di darat karena daerah pelabuhan Surabaya
saat itu tidak memungkinkan dan dikuasai oleh penjajah (Sekutu/Belanda), dengan pertimbangan situasi tersebut keberadaan
pangkalan di Tanggulangin lebih mendukung didalam pengiriman pasukan ke
garis depan (front) di Surabaya, Gresik dan Mojokerto, di pangkalan
tersebut terdapat juga pasukan unsur laut yang berdiri sendiri yakni
Pasukan Liar (L), Pemuda Penerbang Angkatan Laut(PPAL) dan pasukan
“PAS-O” yang datang dari Jakarta.
Pada
tanggal 1 Januari 1946, sesuai dengan konsolidasi dan reorganisasi yang
diadakan oleh MBU ALRI Yogyakarta yakni mengubah struktur organisasi
TKR Laut menjadi Pangkalan ALRI maka Divisi I TKR Laut diubah menjadi
Pangkalan VII dengan susunan staf sebagai berikut :
Panglima Pangkalan : Kolonel R. Sutrisno Kertonegoro
Wakil Panglima : Letnan Kolonel Sarmin Partosugondo
Perwira-perwira Staf : Letkol Mochtar Lahaja, Letkol P.I.B.
Lampah, Letkol(W) Bernetje Tuegeh,
Mayor Soedirdjo dan Kapten Tehupuring.
Berkembangnya
situasi karena agresi pertama, situasi Pangkalan VII tidak memungkinkan
bertahan di Tanggulangin, situasi bertambah memanas sehingga Staf
Pangkalan VII dipindahkan ke Lawang, sedangkan pasukan tetap bertugas
di front Tanggulangin. Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan
kebijaksanaan Markas tertinggi di Lawang tentang pembentukan Divisi
TLRI, maka Pangkalan VII dirubah menjadi divisi Tentara Laut Republik
Indonesia(TLRI) Jawa Timur. Dengan adanya perubahan tersebut maka
pasukan Pangkalan VII dan pangkalan lain di Jawa Timur semuanya di bawah komando Divisi I TLRI
Pengakuan Kedaulatan
Belanda
yang berusaha untuk menjajah kembali dengan membonceng sekutu mendarat
di Surabaya tetapi hal tersebut mendapat perlawanan dari para pejuang,
terbunuhnya Brigadir AWS Mallaby Komandan Pasukan memberikan alasan
Sekutu untuk menekan para pejuang di Surabaya untuk bertanggung jawab
dan menyerahkan senjata atau menerima gempuran dari pihak Sekutu, hal
tersebut tetap di tolak maka terjadilah pertempuran sejak tanggal 10
Nopember 1945 selama tiga minggu, sehingga pangkalan VII Surabaya sempat
dipindahkan ke Tanggulangin hingga di Lawang.
Adanya perlawanan dari para pejuang Republik Indonesia dan tekanan Internasional memaksa
Belanda untuk duduk di meja perundingan, kemudian PBB membentuk Komisi
PBB untuk Indonesia atau UNCI( United Nation Commission for Indonesia)
pada tanggal 28 Januari 1949 pada tanggal 7 Mei 1949 dicapai kesepakatan
gencatan senjata sebagai hasil perundingan Roem-Roijen di Den Haag
Belanda.
Pada
tanggal 23 Agustus 1949 hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag,
disepakati adanya pengakuan Kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda serta
membentuk Indonesia Serikat. Dengan diakuinya kedaulatan Indonesia maka
dibentuklah Angkatan Perang Republik Indonesia.
Penyerahan Pangkalan Surabaya.
Pengakuan Kedaulatan Indonesia
ditandatangani di Den Haag pada tanggal 27 Desember 1948, kemudian
seluruh kekuatan perjuangan ALRI di kumpulkan di Surabaya, Pada tanggal 28 Desember 1949
diadakan penyerahan Marine Basis Surabaya beserta dua buah korvet RI
Hang Tuah dan RI Patiunus dari Koninklijke Marine (KM) kepada ALRIS.
Bersamaan dengan itu Marine Base Surabaya (MBS) berubah menjadi Komando
Pangkalan Angakatan Laut Surabaya (KPALS).
Setelah
masa penyerahan MBS, selanjutnya adalah masa konsolidasi pembentukan
kekuatan setelah mengalami masa perjuangan pra kemerdekaan dan perang
kemerdekaan (revolusi fisik) yaitu adanya agresi militer sekutu,
sehingga sejak saat itulah perkembangan kekuatan pangkalan di Surabaya
mulai diadakan penataan dan penyusunan baik dibidang Organisasi maupun
administrasinya, perkembangan terus terjadi untuk memperbaiki
administrasi Pangkalan, MBS kemudian berubah menjadi KPALS, kemudian
terjadi perubahan dan perkembangan baik secara fisik maupun
administrasi. Pada tanggal 15 Januari 1950 pergantian nama dalam rangka
penyempurnaan tugas dilaksanakan dalam tubuh KPALS. Nama KPALS berubah
menjadi KDMPS (Komando Daerah Maritim Pangkalan Surabaya) kemudian
berubah kembali menjadi KDMS (Komando Daerah Maritim Surabaya), Kodamar
(Komando Daerah Maritim) IV, Kodamar V hingga tahun 1971, Daeral (Daerah
Angkatan Laut) IV hingga tahun 1982, Lantamal Surabaya tahun 1984.
Akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI-AL Nomor :
Skep/1202/V/1985 tanggal 29 Mei 1985 berganti nama menjadi Pangkalan
Utama TNI-AL III atau Lantamal III Surabaya, Terakhir berubah menjadi
Lantamal V berdasarkan Skep Kasal Nomor : Kep/ 10 / VII /2006 tanggal 13
Juli 2006.
Penutup.
Pangkalan
Angkatan Laut Surabaya sejak zaman Belanda dan Jepang mempunyai peranan
amat penting, karena pangkalan Surabaya merupakan Pangkalan Angkatan
Laut terbesar di Indonesia, hingga saat ini hal tersebut tidak
diragukan. Setelah membaca dari penelusuran sejarah tersebut pembentukan
Pangkalan di Surabaya dimulai ketika direbut pertama kali dari
kekuasaan tentara Jepang dan diserahkan pada tanggal 7 Oktober 1945,
kemudian pangkalan terseut berusaha dukuasai Belanda hingga akhirnya
diserahkan Pangkalan Ujung dari Koninklijke Marine (Angkatan Laut
Kerajaan Belanda) kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini
Angkatan Laut Republik Indonesia pada tanggal 28 Desember 1949,
kedua tanggal kejadian tersebut dapat dan layaklah dianggap sebagai
tonggak sejarah dijadikan sebagai hari jadi Pangkalan Angkatan Laut
Surabaya yaitu Lantamal V, namun hal ini merupakan masukan dan
memerlukan pendalaman untuk menjadi keputusan.
Sumber tulisan.
1. Sejarah TNI AL (periode perang kemerdekaan) 1945-1950 diterbitkan oleh Dirwatpersal 1992.
2. TNI AL dalam gambar 1945-1950 oleh Muchri BA, Sugeng Sudarto BA diterbitkan oleh Dinas Sejarah TNI AL 1980.
3. Majalah TSM edisi riwayat singkat ALRI Batalyon 3 Pangkalan IX Pasuruan. Dalam masa perjuangan 1945-1950.
4. Dokumentasi foto Lantamal V tahun 1950.
5. TNI AL dalam gambar 1945-1950 oleh Dinas Sejarah TNI AL Jakarta 1980.
6. Museum Monumen Tugu Pahlawan Surabaya.
Sumber Artikel : http://lantamal5.tnial.mil.id/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid=68
0 Komentar