Tampilkan postingan dengan label Jawa Timur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jawa Timur. Tampilkan semua postingan

Logo Kabupaten Pasuruan

Add Comment
Logo Kabupaten Pasuruan
Berdasarkan PERDA No. II/1988 Pasal.3 tentang bentuk lambang daerah, maka lambang Kabupaten Pasuruan adalah sebagai berikut :
Perisai dengan warna hijau tua melambangkan sifat-sifat ketahanan dan ketabahan dalam mencapai kesejahteraan dan kedamaian.
Bingkai warna hitam melambangkan garis-garis kebijaksanaan.
Pita bertuliskan "KABUPATEN PASURUAN", menunjukkan 1 daerah yang dilukiskan dalam lambang daerah.
Bintang yang terletak di tengah bagian atas, berwarna kuning emas, melambangkan "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang harus dijunjung tinggi penuh keagungan, sedangkan pancaran sinarnya yang berjumlah 5 buah mencerminkan PANCASILA.
Kubah berwarna biru muda, melambangkan tempat ibadah agama, secara khusus merupakan kehidupan spiritual masyarakat Kabupaten Pasuruan yang dilaksanakan dengan penuh ketakwaan.
Keris berwarna hitam dan kuning dengan garis tepi berwarna putih melambangkan sikap kepahlawanan.
Tebu dan Kapuk Randu melambangkan salah satu gambar penghasilan serta merupakan penunjang perekonomian yang menonjol bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Pasuruan.
Gunung, Daratan dan Laut masing-masing berwarna hijau tua, kuning tua dan biru tua, melambangkan bahwa kondisi geografis Kabupaten Pasuruan secara khusus sangat strategis dan terletak diantara ketiganya yang masing-masing mengandung potensi perekonomian yang dapat dikembangkan dan bersifat dinamis.
Pita Putih bertuliskan "Guna Karya Sarana Bhakti", merupakan motto pembangunan yang berarti kerja yang bermanfaat sebagai amal untuk berbakti.

dikutip dari : http://www.pasuruankab.go.id

Logo Kabupaten Sidoarjo

Add Comment
Arti Lambang Daerah Kabupaten Sidoarjo
 

Logo Kabupaten Sidoarjo
 
Lambang Daerah Kabupaten Sidoarjo terdiri dari 5 bagian :
1 Sebuah segilima beraturan yang sisi-sisinya berbentuk kurung kurawal
  melambangkan : Falsafah Pancasila yang juga mengandung arti bahwa rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo telah mentrapkan ajaran Pancasila dengan tertib dan pasti,
2 Sebuah bintang bersudut lima
  melambangkan : KeTuahanan Yang Maha Esa yang menggambarkan kehidupan ber-KeTuhanan / beragama dari rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo
3 Setangkai padi, depalan belas butir dan sebatang tebu lima ruas dengan bentuk bulat
  melambangkan : Hasil bumi yang paling penting dalam daerah Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan bentuk yang membulat dari padi dan tebu tersebut menggambarkan kebulatan tekad untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. 18 (delapan belas) butir padi menunjukkan banyaknya Kecamatan dalam daerah Kabupaten Sidoarjo.
4 Ikan bandeng dan ikan udang membentuk hurus " S "
  melambangkan : Hasil tambak dalam daerah Kabupaten Sidoarjo. Bentuk hurus " S " dari ikan bandeng dan ikan udang tersebut menunjukkan huruf pertama dari Sidoarjo
 
MAKNA WARNA-WARNA YANG DI PAKAI DALAM LAMBANG KABUPATEN SIDOARJO
1 Warna Biru Laut pada lambang berarti air yang menggambarkan bahwa Daerah Kabupaten Sidoarjo yang terkenal dengan nama : "DELTA BRANTAS" dikelilingi air yaitu sungai dan laut. Warna biru laut yang terlepas dalam lingkaran padi dan tebu berarti air yang menggambarkan bahwa daerah Kabupaten Sidoarjo adalah daerah tambak yang banyak menghasilkan ikan bandeng dan ikan udang.
2 Warna dasar Hijau menggambarkan kesuburan daerah Kabupaten Sidoarjo (Delta Brantas)
3 Warna Kuning pada bintang, padi, tebu dan pita menggambarkan kesejahteraan rakyat Kabupaten Sidoarjo
4 Warna Hitam pada tebu, ikan bandeng, ikan udang dan tulisa Kabupaten Sidoarjo menggambarkan keteguhan Iman rakyat daerah Kabupaten Sidoarjo.
5 Warna Abu-abu ikan bandeng dan ikan udang adalah warna pelengkap.
 
SLOGAN / MOTTO
SIDOARJO PERMAI BERSIH HATINYA
(Pertanian Maju, Andalan Industri, Bersih, Rapi, Serasi, Hijau, Sehat, Indah dan Nyaman)
Artinya Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah pertanian yang subur sebagai lumbung pangan, mempertahankan pertanian yang maju agar bisa swasembada pangan dengan cara identifikasi pertanian dan menggunakan mekanisasi teknologi tepat guna, di samping itu mendorong perkembangan industri yang semakin meningkat, maka kedua hal ini harus berkembang secara serasi. Selain itu masyarakat Kabupaten Sidoarjo berbudaya hidup dengan lingkungan yang bersih, rapi, serasi, hijau, sehat, indah dan nyaman. 
Pada tahun 1019 - 1042 Kerajaan Jawa Timur diperintah oleh seorang Putera dari hasil perkawinan antara Puteri Mahandradata dengan Udayana (seorang Pangeran Bali) yang bernama Airlangga, pada waktu pemerintahan Airlangga, keadaan negara tentram, keamanan terjamin, dan negara mengalami kemajuan yang pesat. Karena raja Airlangga mempunyai 2 orang putera, maka pada akhir masa pemerintahannya ia memandang perlu membagi kerajaan menjadi dua bagian untuk diserahkan kepada kedua putranya, agar dikemudian hari tidak terjadi perebutan tahta. Pembagian itu terjadi pada tahun 1042, yaitu menjadi kerajaan Daha (Kediri) dan Kerajaan Jenggala. Kerajaan Jenggala yang berdiri pada tahun 1024 terletak di daerah delta Brantas, yaitu meliputi pesisir utara seluruhnya, dengan demikian menguasai bandar-bandar dan muara sungai besar, sedangkan ibukotanya berada di sekitar Kecamatan Gedangan sekarang. Lain halnya dengan Kerajaan Kediri, tidak memiliki bandar sebuahpun sehingga walaupun hasil pertanian di Kediri sangat besar dan upeti mengalir dengan sangat besar, semuanya semua itu tidak dapat diperdagangkan karena kerajaan kediri tertutup dari laut sebagai jalan perdagangan pada waktu itu. Maka timbullah perebutan bandar antara kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala, yang kemudian menimbulkan peperangan besar antara kedua kerajaan tersebut, dimana keduanya menuntut kekuasaan atas kerajaan Airlangga.Perang tersebut berakhir dengan kekalahan kerajaan Jenggala, pada tahun 1045(menurut sumber lain Kerajaan Jenggala pada tahun 1060 masih ada)
 
RIWAYAT PERKEMBANGAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO


R.A.A Soejadi
Bupati Sidoarjo
periode 1933-1949


R.Suriadi Kertosuprojo
Bupati Sidoarjo
periode 1950-1958


H.A. Chudori Amir
Bupati Sidoarjo
periode 1958-1959


R.H Samadikoen
Bupati Sidoarjo
periode 1959-1964


Kol.Pol. HR. Soedarsono
Bupati Sidoarjo
periode 1965-1975


Kol.Pol. H Soewandi
Bupati Sidoarjo
periode 1975-1985


Kol.Art. Soegondo
Bupati Sidoarjo
periode 1985-1990


Kol.Inf. Edhi Sanyoto
Bupati Sidoarjo
periode 1990-1995


Kol.Inf. H. Soedjito
Bupati Sidoarjo
periode 1995-1999
 

Drs. Win Hendrarso ,Msi
Bupati Sidoarjo
periode 1999-2010


S
emula, tepatnya pada tahun 1851 daerah Sidoarjo bernama Sidokare, bagian dari kabupaten Surabaya. Daerah Sidokare dipimpin oleh seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom yang dibatu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Pangabahan. Pada tahun 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda no. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.Dengan demikian Kabupaten Sidokare tidak lagi menjadi daerah bagian dari Kabupaten Surabaya dan sejak itu mulai diangkat seorang Bupati utuk memimpin Kabupaten Sidokare yaitu R. Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) berasal dari Kasepuhan, putera R.A.P Tjokronegoro Bupati Surabaya, dan bertempat tinggal di kampung Pandean (sebelah selatan Pasar Lama sekarang), beliau medirikan masjid di Pekauman (Masjid Abror sekarang),sedang alun-alunya pada waktu itu adalah Pasar Lama. Dalam tahun 1859 itu juga, dengan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 10/1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblad. 1859 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa secara resmi terbentuknya Daerah Kabupaten Sidoarjo adalah tangal 28 Mei 1859 dan sebagai Bupati I adalah R.Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) Semula rumah Kabupaten di daerah kampung Pandean, kemudian karena suatu hal maka Bupati Tjokronegoro I dipindahkan ke Kampung Pucang (Wates). Disini beliau membangun masjid Jamik yang sekarang ini (Masjid Agung), tetapi masih dalam bentuk yang sangat sederhana, sedang di sebelah Baratnya dijadikan Pesarean Pendem (Asri). Pada tahun 1862, beliau wafat setelah menderita sakit, dan dimakamkan di Pesarean Pendem (Asri). Sebagai gantinya pada tahun 1863 diangkat kakak alnarhum sebagai Bupati Sidoarjo, yaitu Bupati R.T.A.A Tjokronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono), pindahan dari Lamongan. Pada masa pemerintahan Bupati Tjokronegoro II ini pembangunan - pembangunan mendapat perhatian sangat besar antara lain, meneruskan pembangunan Masjid Jamik yang masih sangat sederhana, perbaikan terhadap Pesarean Pendem, disamping itu dibangun pula Kampung Magersari sebelah Barat Kabupaten, yang kemudian ditempatkan disitu orang-orang Madura. Pada tahun 1883 Bupati Tjokronegoro mendapat pensiun, yang tak lama kemudian pada tahun sama beliau wafat, dimakamkan di Pesarean Botoputih Surabaya. Sebagai gantinya diangkat R.P Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya berjalan 3 bulan karena wafat pada tahun itu juga dan dimakamkan di Pesarean Pendem. Selanjutnya dalam tahun1883 itu diangkat R.A.A.T. Tjondronegoro I ini dapatlah dicatat sebagai berikut :
  • Dalam Bidang Pembangunan
    • Penyempurnaan Masjid Jamik yang telah dibangun oleh para Bupati terdahulu yaitu diperluas dan diperindah dengan pemasangan marmer. Pembangunan ini dimulai hari Jum'at Kliwon tanggal 26 Muharrom 1313 H, bertepatan dengan tahun Wawu 1825 dan tanggal 19 Juli 1895. Bagi Pesarean para Bupati serta keluarganya, para penghulu dan segenap ahlul masjid ditetapkan di pekarangan Masjid Jamik (seperti yang kita saksikan sekarang)
  • Dalam Bidang pemerintahan
    • Susunan Pemerintahan (Hierarchie) pada waktu itu di Kabupaten Sidoarjo dibagi menjadi 6 Kawedanan (Distrik) yaitu :
      1. Kawedanan Gedangan
      2. Kawedanan Sidoarjo
      3. Kawedanan Krian
      4. Kawedanan Taman Jenggolo
      5. Kawedanan Porong Jenggolo
      6. Kawedanan Bulang
    Nama-nama Kawedanan tersebut ternyata masih memakai nama-nama pada waktu Kerajaan Jenggal dahulu.
 
Masa Pedudukan Jepang ( 8 Maret 1942 - 15 Agustus 1945 ) Sebagaimana juga daerah-daerah di Indonesia, mulai tanggal 8 Maret 1942 daerah Delta Brantas ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang. Pada waktu pendudukan Jepang itu, yang menjadi Bupati Sidoarjo adalah tetap Bupati R.A.A. Sujadi. Pemerintahan jepang sangat militeristik sehingga tidak sedikit para pemimpin dan Pamong Praja yang dianggap merintangi Pemerintahan Jepang menjadi korban Kempetai. Dimana-mana dibentuk Seinendan dan Keibondan dan (sebagai pembantu Polisi ), hingga ke desa-desa terpencil.
 
Pemerintahan Republik Indonesia. Sebagaimana tercatat pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu, pada waktu itu adalah waktu yang sebaik-baiknya bagi Bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, dimana-mana di daerah Republik Indonesia dibentuk bermacam-macam badan atau perkumpulan yang bersifat nasional. Pada waktu itu yang berkuasa di daerah Delta Brantas ialah Kaigun ( tentara Laut Jepang ) yang dengan rela menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita. Badan-badan bersenjata mulai dibentuk dengan nama B.K.R dan P.T.K.R. Diantara badan-badan bersenjata tersebut yang paling berkuasa didaerah kita pada waktu itu ialah P.T.K.R. dibawah pimpinan Mayor Sabarudin. Pembunuhan-pembunuhan dijalankan terhadap mereka yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Karena tindakannya yang melampui batas maka oleh pihak pimpinan yang tertingggi dianggap perlu untuk melucuti senjata P.T.K.R. yang ada dibawah pimpinan Sabarudin tersebut. Akhirnya kekuasaan Sabarudin dkk. dapat dilumpuhkan.
 
Permulaan bulan Maret Belanda mulai aktif dengan usaha-usahanya untuk menduduki kembali daerah kita. Waktu Belanda menduduki Gedangan, Pemerintah memandang perlu memindahkan pusat Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo ke Porong. Tetapi masih ada pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk tetap tinggal di kota Sidoarjo sebagai wakil dari Pemerintahan. Kemudian di Candi di bentuk Markas Gabungan sebagai pertahanan. Pada waktu itu derah Dungus (Kecamatan Sukodono) menjadi daerah rebutan dengan Belanda. Tanggal 24 Desember 1946, Belanda mulai menyerang kota Sidoarjo dengan serangan dijalankan dari jurusan Tulangan. Maka pada hari itu juga Daerah Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo dipindahkan lagi ke daerah Jombang. Dan mulai saat itu Daerah Sidoarjo dibawah pemerintahan Recomba yang berjalan hingga tahun 1949.
 
Sesudah negara Jawa Timur dibentuk, daerah Brantas masuk daerah Boneka tersebut. Pada waktu itu Bupati R.I adalah : K. Ng. Soebekti Poespanoto. R. Soeharto. Tanggal 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kembali kepada Pemerintahan Republik Indonesia, maka waktu itu juga Daerah Delta Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia.
 
Tidak lama sesudah penyerahan kembali Kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 22/1948, R. Soeriadi Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di Kabupaten Sidoarjo. Banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo yang baru. Lebih-lebih karena Daerah Delta Brantas merupakan daerah penghubung antara kota Surabaya dengan daerah pedalamanan. Seperti kita ketahui kota Surabaya adalah termasuk kota yang terbesar di Asia Tengara, sehingga tidak luput dari intaian negara-negara asing yang ingin menyebarkan ideologinya didaerah Indonesia. Karena itu daerah Sidoarjo juga menghadapi segala macam infiltrasi, terutama dari pihak yang tidak menyukai adanya Republik Indonesia.
 
Kekacuauan- kekacuauan mulai timbul lagi di daerah-daerah. Kekacuauan- kekacuauan itu terutama disebabkan dari usaha-usaha pengikut Belanda yang tidak mau tunduk dibawah Pemerintahan Republik Indonesia. Diantara pengacau-pengacau itu ialah pengacau yang dipimpin oleh bekas Lurah desa Tromposari (Kecamatan Jabon) yaitu Imam Sidjono alias Malik. Didalam menjalankan kekacauan itu, Malik berusaha supaya lurah-lurah lainnya membantu dia. Tidak sedikit Pamong Desa dan Lurah lainnya yang menjadi alat Malik. Senjata yang mereka gunakan ternyata bekas kepunyaan KNIL. Daerah kekuasaannya ialah daerah segitiga : Gempol - Bangil - Pandaan, dan daerah Kabupaten seluruhnya masuk daerah operasinya. Berkat adanya kerja sama Pamong Praja, Polisi dan Tentara, maka kira-kira dalam pertengahan bulan Mei 1951, kekacauan mulai dapat diredakan, Malik tertangkap di daerah Bangil pada tanggal 12 Mei 1951.    Operasi-operasi dimana-mana dijalankan terus, dan baru pada permulaan Agustus 1951 keadaaan di daerah Delta Brantas dapat dikatakan aman dan terkendali. Pemerintahan lambat laun berjalan lancar kembali sampai ke pelosok-pelosok desa. Akhirnya sebagai kelengkapan dari cuplikan baru sejarah Kabupaten Sidoarjo dan untuk diketahui oleh masyarakat, maka perlu kami kutipkan nama-nama para Bupati Sidoarjo sejak pertama hingga sekarang .

Logo Kabupaten Sidoarjo

Add Comment
Arti Lambang Daerah Kabupaten Sidoarjo
 

Logo Kabupaten Sidoarjo
 
Lambang Daerah Kabupaten Sidoarjo terdiri dari 5 bagian :
1 Sebuah segilima beraturan yang sisi-sisinya berbentuk kurung kurawal
  melambangkan : Falsafah Pancasila yang juga mengandung arti bahwa rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo telah mentrapkan ajaran Pancasila dengan tertib dan pasti,
2 Sebuah bintang bersudut lima
  melambangkan : KeTuahanan Yang Maha Esa yang menggambarkan kehidupan ber-KeTuhanan / beragama dari rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo
3 Setangkai padi, depalan belas butir dan sebatang tebu lima ruas dengan bentuk bulat
  melambangkan : Hasil bumi yang paling penting dalam daerah Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan bentuk yang membulat dari padi dan tebu tersebut menggambarkan kebulatan tekad untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. 18 (delapan belas) butir padi menunjukkan banyaknya Kecamatan dalam daerah Kabupaten Sidoarjo.
4 Ikan bandeng dan ikan udang membentuk hurus " S "
  melambangkan : Hasil tambak dalam daerah Kabupaten Sidoarjo. Bentuk hurus " S " dari ikan bandeng dan ikan udang tersebut menunjukkan huruf pertama dari Sidoarjo
 
MAKNA WARNA-WARNA YANG DI PAKAI DALAM LAMBANG KABUPATEN SIDOARJO
1 Warna Biru Laut pada lambang berarti air yang menggambarkan bahwa Daerah Kabupaten Sidoarjo yang terkenal dengan nama : "DELTA BRANTAS" dikelilingi air yaitu sungai dan laut. Warna biru laut yang terlepas dalam lingkaran padi dan tebu berarti air yang menggambarkan bahwa daerah Kabupaten Sidoarjo adalah daerah tambak yang banyak menghasilkan ikan bandeng dan ikan udang.
2 Warna dasar Hijau menggambarkan kesuburan daerah Kabupaten Sidoarjo (Delta Brantas)
3 Warna Kuning pada bintang, padi, tebu dan pita menggambarkan kesejahteraan rakyat Kabupaten Sidoarjo
4 Warna Hitam pada tebu, ikan bandeng, ikan udang dan tulisa Kabupaten Sidoarjo menggambarkan keteguhan Iman rakyat daerah Kabupaten Sidoarjo.
5 Warna Abu-abu ikan bandeng dan ikan udang adalah warna pelengkap.
 
SLOGAN / MOTTO
SIDOARJO PERMAI BERSIH HATINYA
(Pertanian Maju, Andalan Industri, Bersih, Rapi, Serasi, Hijau, Sehat, Indah dan Nyaman)
Artinya Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah pertanian yang subur sebagai lumbung pangan, mempertahankan pertanian yang maju agar bisa swasembada pangan dengan cara identifikasi pertanian dan menggunakan mekanisasi teknologi tepat guna, di samping itu mendorong perkembangan industri yang semakin meningkat, maka kedua hal ini harus berkembang secara serasi. Selain itu masyarakat Kabupaten Sidoarjo berbudaya hidup dengan lingkungan yang bersih, rapi, serasi, hijau, sehat, indah dan nyaman. 
Pada tahun 1019 - 1042 Kerajaan Jawa Timur diperintah oleh seorang Putera dari hasil perkawinan antara Puteri Mahandradata dengan Udayana (seorang Pangeran Bali) yang bernama Airlangga, pada waktu pemerintahan Airlangga, keadaan negara tentram, keamanan terjamin, dan negara mengalami kemajuan yang pesat. Karena raja Airlangga mempunyai 2 orang putera, maka pada akhir masa pemerintahannya ia memandang perlu membagi kerajaan menjadi dua bagian untuk diserahkan kepada kedua putranya, agar dikemudian hari tidak terjadi perebutan tahta. Pembagian itu terjadi pada tahun 1042, yaitu menjadi kerajaan Daha (Kediri) dan Kerajaan Jenggala. Kerajaan Jenggala yang berdiri pada tahun 1024 terletak di daerah delta Brantas, yaitu meliputi pesisir utara seluruhnya, dengan demikian menguasai bandar-bandar dan muara sungai besar, sedangkan ibukotanya berada di sekitar Kecamatan Gedangan sekarang. Lain halnya dengan Kerajaan Kediri, tidak memiliki bandar sebuahpun sehingga walaupun hasil pertanian di Kediri sangat besar dan upeti mengalir dengan sangat besar, semuanya semua itu tidak dapat diperdagangkan karena kerajaan kediri tertutup dari laut sebagai jalan perdagangan pada waktu itu. Maka timbullah perebutan bandar antara kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala, yang kemudian menimbulkan peperangan besar antara kedua kerajaan tersebut, dimana keduanya menuntut kekuasaan atas kerajaan Airlangga.Perang tersebut berakhir dengan kekalahan kerajaan Jenggala, pada tahun 1045(menurut sumber lain Kerajaan Jenggala pada tahun 1060 masih ada)
 
RIWAYAT PERKEMBANGAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO


R.A.A Soejadi
Bupati Sidoarjo
periode 1933-1949


R.Suriadi Kertosuprojo
Bupati Sidoarjo
periode 1950-1958


H.A. Chudori Amir
Bupati Sidoarjo
periode 1958-1959


R.H Samadikoen
Bupati Sidoarjo
periode 1959-1964


Kol.Pol. HR. Soedarsono
Bupati Sidoarjo
periode 1965-1975


Kol.Pol. H Soewandi
Bupati Sidoarjo
periode 1975-1985


Kol.Art. Soegondo
Bupati Sidoarjo
periode 1985-1990


Kol.Inf. Edhi Sanyoto
Bupati Sidoarjo
periode 1990-1995


Kol.Inf. H. Soedjito
Bupati Sidoarjo
periode 1995-1999
 

Drs. Win Hendrarso ,Msi
Bupati Sidoarjo
periode 1999-2010


S
emula, tepatnya pada tahun 1851 daerah Sidoarjo bernama Sidokare, bagian dari kabupaten Surabaya. Daerah Sidokare dipimpin oleh seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom yang dibatu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Pangabahan. Pada tahun 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda no. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.Dengan demikian Kabupaten Sidokare tidak lagi menjadi daerah bagian dari Kabupaten Surabaya dan sejak itu mulai diangkat seorang Bupati utuk memimpin Kabupaten Sidokare yaitu R. Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) berasal dari Kasepuhan, putera R.A.P Tjokronegoro Bupati Surabaya, dan bertempat tinggal di kampung Pandean (sebelah selatan Pasar Lama sekarang), beliau medirikan masjid di Pekauman (Masjid Abror sekarang),sedang alun-alunya pada waktu itu adalah Pasar Lama. Dalam tahun 1859 itu juga, dengan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 10/1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblad. 1859 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa secara resmi terbentuknya Daerah Kabupaten Sidoarjo adalah tangal 28 Mei 1859 dan sebagai Bupati I adalah R.Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) Semula rumah Kabupaten di daerah kampung Pandean, kemudian karena suatu hal maka Bupati Tjokronegoro I dipindahkan ke Kampung Pucang (Wates). Disini beliau membangun masjid Jamik yang sekarang ini (Masjid Agung), tetapi masih dalam bentuk yang sangat sederhana, sedang di sebelah Baratnya dijadikan Pesarean Pendem (Asri). Pada tahun 1862, beliau wafat setelah menderita sakit, dan dimakamkan di Pesarean Pendem (Asri). Sebagai gantinya pada tahun 1863 diangkat kakak alnarhum sebagai Bupati Sidoarjo, yaitu Bupati R.T.A.A Tjokronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono), pindahan dari Lamongan. Pada masa pemerintahan Bupati Tjokronegoro II ini pembangunan - pembangunan mendapat perhatian sangat besar antara lain, meneruskan pembangunan Masjid Jamik yang masih sangat sederhana, perbaikan terhadap Pesarean Pendem, disamping itu dibangun pula Kampung Magersari sebelah Barat Kabupaten, yang kemudian ditempatkan disitu orang-orang Madura. Pada tahun 1883 Bupati Tjokronegoro mendapat pensiun, yang tak lama kemudian pada tahun sama beliau wafat, dimakamkan di Pesarean Botoputih Surabaya. Sebagai gantinya diangkat R.P Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya berjalan 3 bulan karena wafat pada tahun itu juga dan dimakamkan di Pesarean Pendem. Selanjutnya dalam tahun1883 itu diangkat R.A.A.T. Tjondronegoro I ini dapatlah dicatat sebagai berikut :
  • Dalam Bidang Pembangunan
    • Penyempurnaan Masjid Jamik yang telah dibangun oleh para Bupati terdahulu yaitu diperluas dan diperindah dengan pemasangan marmer. Pembangunan ini dimulai hari Jum'at Kliwon tanggal 26 Muharrom 1313 H, bertepatan dengan tahun Wawu 1825 dan tanggal 19 Juli 1895. Bagi Pesarean para Bupati serta keluarganya, para penghulu dan segenap ahlul masjid ditetapkan di pekarangan Masjid Jamik (seperti yang kita saksikan sekarang)
  • Dalam Bidang pemerintahan
    • Susunan Pemerintahan (Hierarchie) pada waktu itu di Kabupaten Sidoarjo dibagi menjadi 6 Kawedanan (Distrik) yaitu :
      1. Kawedanan Gedangan
      2. Kawedanan Sidoarjo
      3. Kawedanan Krian
      4. Kawedanan Taman Jenggolo
      5. Kawedanan Porong Jenggolo
      6. Kawedanan Bulang
    Nama-nama Kawedanan tersebut ternyata masih memakai nama-nama pada waktu Kerajaan Jenggal dahulu.
 
Masa Pedudukan Jepang ( 8 Maret 1942 - 15 Agustus 1945 ) Sebagaimana juga daerah-daerah di Indonesia, mulai tanggal 8 Maret 1942 daerah Delta Brantas ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang. Pada waktu pendudukan Jepang itu, yang menjadi Bupati Sidoarjo adalah tetap Bupati R.A.A. Sujadi. Pemerintahan jepang sangat militeristik sehingga tidak sedikit para pemimpin dan Pamong Praja yang dianggap merintangi Pemerintahan Jepang menjadi korban Kempetai. Dimana-mana dibentuk Seinendan dan Keibondan dan (sebagai pembantu Polisi ), hingga ke desa-desa terpencil.
 
Pemerintahan Republik Indonesia. Sebagaimana tercatat pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu, pada waktu itu adalah waktu yang sebaik-baiknya bagi Bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, dimana-mana di daerah Republik Indonesia dibentuk bermacam-macam badan atau perkumpulan yang bersifat nasional. Pada waktu itu yang berkuasa di daerah Delta Brantas ialah Kaigun ( tentara Laut Jepang ) yang dengan rela menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita. Badan-badan bersenjata mulai dibentuk dengan nama B.K.R dan P.T.K.R. Diantara badan-badan bersenjata tersebut yang paling berkuasa didaerah kita pada waktu itu ialah P.T.K.R. dibawah pimpinan Mayor Sabarudin. Pembunuhan-pembunuhan dijalankan terhadap mereka yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Karena tindakannya yang melampui batas maka oleh pihak pimpinan yang tertingggi dianggap perlu untuk melucuti senjata P.T.K.R. yang ada dibawah pimpinan Sabarudin tersebut. Akhirnya kekuasaan Sabarudin dkk. dapat dilumpuhkan.
 
Permulaan bulan Maret Belanda mulai aktif dengan usaha-usahanya untuk menduduki kembali daerah kita. Waktu Belanda menduduki Gedangan, Pemerintah memandang perlu memindahkan pusat Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo ke Porong. Tetapi masih ada pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk tetap tinggal di kota Sidoarjo sebagai wakil dari Pemerintahan. Kemudian di Candi di bentuk Markas Gabungan sebagai pertahanan. Pada waktu itu derah Dungus (Kecamatan Sukodono) menjadi daerah rebutan dengan Belanda. Tanggal 24 Desember 1946, Belanda mulai menyerang kota Sidoarjo dengan serangan dijalankan dari jurusan Tulangan. Maka pada hari itu juga Daerah Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo dipindahkan lagi ke daerah Jombang. Dan mulai saat itu Daerah Sidoarjo dibawah pemerintahan Recomba yang berjalan hingga tahun 1949.
 
Sesudah negara Jawa Timur dibentuk, daerah Brantas masuk daerah Boneka tersebut. Pada waktu itu Bupati R.I adalah : K. Ng. Soebekti Poespanoto. R. Soeharto. Tanggal 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kembali kepada Pemerintahan Republik Indonesia, maka waktu itu juga Daerah Delta Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia.
 
Tidak lama sesudah penyerahan kembali Kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 22/1948, R. Soeriadi Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di Kabupaten Sidoarjo. Banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo yang baru. Lebih-lebih karena Daerah Delta Brantas merupakan daerah penghubung antara kota Surabaya dengan daerah pedalamanan. Seperti kita ketahui kota Surabaya adalah termasuk kota yang terbesar di Asia Tengara, sehingga tidak luput dari intaian negara-negara asing yang ingin menyebarkan ideologinya didaerah Indonesia. Karena itu daerah Sidoarjo juga menghadapi segala macam infiltrasi, terutama dari pihak yang tidak menyukai adanya Republik Indonesia.
 
Kekacuauan- kekacuauan mulai timbul lagi di daerah-daerah. Kekacuauan- kekacuauan itu terutama disebabkan dari usaha-usaha pengikut Belanda yang tidak mau tunduk dibawah Pemerintahan Republik Indonesia. Diantara pengacau-pengacau itu ialah pengacau yang dipimpin oleh bekas Lurah desa Tromposari (Kecamatan Jabon) yaitu Imam Sidjono alias Malik. Didalam menjalankan kekacauan itu, Malik berusaha supaya lurah-lurah lainnya membantu dia. Tidak sedikit Pamong Desa dan Lurah lainnya yang menjadi alat Malik. Senjata yang mereka gunakan ternyata bekas kepunyaan KNIL. Daerah kekuasaannya ialah daerah segitiga : Gempol - Bangil - Pandaan, dan daerah Kabupaten seluruhnya masuk daerah operasinya. Berkat adanya kerja sama Pamong Praja, Polisi dan Tentara, maka kira-kira dalam pertengahan bulan Mei 1951, kekacauan mulai dapat diredakan, Malik tertangkap di daerah Bangil pada tanggal 12 Mei 1951.    Operasi-operasi dimana-mana dijalankan terus, dan baru pada permulaan Agustus 1951 keadaaan di daerah Delta Brantas dapat dikatakan aman dan terkendali. Pemerintahan lambat laun berjalan lancar kembali sampai ke pelosok-pelosok desa. Akhirnya sebagai kelengkapan dari cuplikan baru sejarah Kabupaten Sidoarjo dan untuk diketahui oleh masyarakat, maka perlu kami kutipkan nama-nama para Bupati Sidoarjo sejak pertama hingga sekarang .

Logo Kota Surabaya

Add Comment
Logo Kota Surabaya
Sejarah Kota
Surabaya Kota Lama
Nama Surabaya muncul sejak awal pertumbuhan kerajaan Majapahit. Nama Surabaya diambil dari simbol ikan Sura dan Buaya. Simbol itu sesungguhnya untuk menggambarkan peristiwa heroik yang terjadi di kawasan Ujung Galuh (nama daerah Surabaya di masa silam), yakni pertempuran antara tentara yang dipimpin Raden Widjaja dengan pasukan tentara Tar Tar pada tanggal 31 Mei 1293. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Surabaya.


Awalnya Surabaya adalah kawasan perkampungan atau pedesaan di pinggiran sungai. Nama-nama kampung yang kini masih ada seperti Kaliasin, Kaliwaron, Kalidami, Ketabangkali, Kalikepiting, Darmokali, dan sebagainya adalah bukti yang menjelaskan bahwa kawasan Surabaya adalah kawasan yang memiliki banyak aliran air / sungai. Secara geografis ini sangat masuk akal, karena memang kawasan Surabaya merupakan kawasan yang berada di dekat laut dan aliran sungai besar (Brantas, dengan anak kalinya).

Lokasi Surabaya yang berada di pinggir pantai, merupakan wilayah yang menjadi lintasan hilir mudik manusia dari berbagai wilayah. Surabaya, menjadi pertemuan antara orang pedalaman pulau Jawa dengan orang dari luar. Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.

Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Sementara, Kalimas menjadi “sungai emas” yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.
Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu menjadi simbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap Tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Hingga saat ini bekas-bekas masa penjajahan terlihat dengan masih cukup banyaknya bangunan kuno bersejarah di sini.

Logo Kabupaten Gresik

Add Comment
Logo Gresik
Berdasarkan peraturan Daerah Kabupaten Gresik No. 3 tahun 1975
  1. Lambang Daerah merupakan cermin yang memberikan suatu gambaran tentang keadaan daerah
  2. Segilima, melambangkan Pancasila yang mendasari sosio cultural, histories, dan aktivitas ekonomi
  3. Warna kuning, melambangkan keluhuran budi dan kebijaksanaan, sedangkan warna tepi hitam melambangkan sikap tetap teguh dan abadi
  4. Kubah masjid, melambangkan agama yang dianut mayoritas yakni Islam
  5. Rantai yang tiada ujung pangkal _ melambangkan persatuan dan kesatuan.
  6. Segitiga sama kaki sebagai puncak kubah masjid, melambangkan bahwa tidak ada kekuasaan yang tertinggi selain Tuhan Yang Maha Kuasa.
  7. Gapura berwarna abu-abu muda, melambangkan suatu pintu gerbang pertama masuk dalam suatu daerah sebagaimana penghubung antara keadaan diluar dan dalam daerah.
  8. Tujuh belas lapisan batu. Melambangkan tanggal 17 yang merupakan pencetus revolusi Indonesia dalam membebaskan diri dari belenggu penjajah
  9. Ombak laut yang berjumlah delapan, melambangkan bahwa pada bulan Agustus merupakan awal tercetusnya revolusi Indonesia
  10. Mata rantai 45 (empat puluh lima) melambangkan bahwa pada tahun 1954 merupakan tonggak sejarah dan tahun peralihan dari jaman penjajahan menuju jaman kemerdekaan Indonesia yang jaya kekal abadi.
  11. Cerobong asap, melambangkan bahwa Kabupaten Gresik adalah daerah pengembangan industri yang letaknya amat strategis bila ditinjau dari persilangan komunikasi baik darat, laut maupun udara.
  12. Perahu Layar, garam, ikan laut dan tanah melambangkan bahwa mata pencaharian rakyat Kabupaten Gresik adalah nelayan dan petani.

Sejarah

Gresik sudah dikenal sejak abad ke-11 ketika tumbuh menjadi pusat perdagangan tidak saja antar pulau, tetapi sudah meluas keberbagai negara.Sebagai kota Bandar,gresik banyak dikunjungi pedagang Cina, Arab, Gujarat, Kalkuta, Siam, Bengali, Campa dan lain-lain. Gresik mulai tampil menonjol dalam peraturan sejarah sejak berkembangnya agama islam di tanah jawa. Pembawa dan penyebar agama islam tersebut tidak lain adalah Syech Maulana Malik Ibrahim yang bersama-sama Fatimah Binti Maimun masuk ke Gresik pada awal abad ke-11.
Sejak lahir dan berkembangnya kota Gresik selain berawal dari masuknya agama islam yang kemudian menyebar ke seluruh pulau jawa,tidak terlepas dari nama Nyai Ageng Pinatih, dari janda kaya raya yang juga seorang syahbandar, inilah nantinya akan kita temukan nama seseorang yang kemudian menjadi tonggak sejarah berdirinya kota gresik. Dia adalah seorang bayi asal Blambangan (Kanbupaten Banyuwangi) yang dibuang ke laut oleh orang tuanya, dan ditemukan oleh para pelaut anak buah Nyai Ageng Pinatih yang kemudian diberi nama Jaka Samudra. Setelah perjaka bergelar raden paku yang kemudian menjadi penguasa pemerintah yang berpusat di Giri Kedato,dari tempat inilah beliau kemudian dikenal dengan panggilan Sunan Giri.
Kalau Syeh Maulana Malik Ibrahim pada jamannya dianggap sebagai para penguasa, tiang para raja dan menteri, maka sunan giri disamping kedudukannya sebagai seorang sunan atau wali (Penyebar Agama Islam) juga dianggap sebagai Sultan / Prabu (Penguasa Pemerintahan) Sunan Giri dikelanal menjadi salah satu tokoh wali songo ini,juga dikenal dengan prabu Satmoto atau Sultan Ainul Yaqin.Tahun dimana beliau dinobatkan sebagai pengusaha pemerintahan(1487 M) akhirnya dijadikan sebagai hari lahirnya kota Gresik. Beliau memerintah gresik selama 30 tahun dan dilanjutkan oleh keturunanya sampai kurang lebih 200 tahun
Menjabat sebagai bupati yang pertama adalah Kyai Ngabehi Tumenggung Poesponegoro pada tahun 1617 saka, yang jasadnya dimakamkan di komplek makam Poesponegoro di jalan pahlawan gresik, satu komplek dengan makam Syech Maulana Malik Ibrahim.
Kota Gresik terkenal sebagai kota wali, hal ini ditandai dengan penggalian sejarah yang berkenaan dengan peranan dan keberadaan para wali yang makamnya di Kabupaten Gresik yaitu, Sunan Giri dan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Di samping itu, Kota Gresik juga bisa disebut dengan Kota Santri, karena keberadaan pondok-pondok pesantren dan sekolah yang bernuansa Islami, yaitu Madrasah Ibtida’iyah, Tsanawiyah, dan Aliyah hingga Perguruan Tinggi yang cukup banyak di kota ini. Hasil Kerajinan yang bernuansa Islam juga dihasilkan oleh masyarakat Kota Gresik, misalnya kopyah, sarung, mukenah, sorban dan lain-lain.
Semula kabupaten ini bernama Kabupaten Surabaya. Memasuki dilaksanakannya PP Nomer 38 Tahun 1974. Seluruh kegiatan pemerintahan mulai berangsur-angsur dipindahkan ke gresik dan namanya kemudian berganti dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Gresik dengan pusat kegiatan di Kota Gresik.
Kabupaten Gresik yang merupakan sub wilayah pengembangan bagian (SWPB) tidak terlepas dari kegiatan sub wilayah pengembangan Gerbang Kertasusila(Gresik, Bangkalan, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan). Termasuk salah satu bagian dari 9 sub wilayah pengembangan jawa timur yang kegiatannya diarahkan pada sektor pertanian, industri, perdagangan, maritime, pendidikan dan industri wisata.
Dengan ditetapkannya Gresik sebagai bagian salah satu wilaya pengembangan Grebangkertosusila dan juga sabagai wilayah industri, maka kota gresik menjadi lebih terkenal dan termashur, tidak saja di persada nusantara tetapi juga ke seluruh dunia yang ditandai dengan munculnya industri multi modern yang patut dibanggakan bangsa Indonesia.

dikutip dari : http://gresikkab.go.id/

Logo Provinsi Jawa Timur

Add Comment
Logo Propinsi Jawa Timur
Lambang Jawa Timur berbentuk perisai dengan bentuk dasar segi lima. Lambang ini terdiri dari gambar bintang, tugu pahlawan, gunung berapi, pintu gerbang candi, sawah ladang, padi kapas, bunga, roda dan rantai.

Bintang merupakan lambang Ketuhanan Yang Maha Esa. Tugu pahlawan melambangkan kepahlawanan rakyat Jawa Timur dalam perang kemerdekaan. Gunung berapi melambangkan semangat mencapai masyarakat adil dan makmur. Pintu gerbang candi sebagai simbol cita-cita perjuangan masa lampau dan sekarang. Sawah, ladang, sungai, padi, dan kapas sebagai simbol kemakmuran. Sedangkan roda dan rantai sebagai simbol kekuatan. Di bawah perisai, terdapat tulisan Jer Basuki Mawa Beya, yang memiliki makna keberhasilan membutuhkan kesungguhan.

Logo Kota Madiun

2 Comments
Logo Madiun
MOTTO
MADIUN BANGKIT : Bersih, Aman, Nyaman, Gagah, Kuat, Indah, Tentram

Sejarah

Madiun merupakan suatu wilayah yang dirintis oleh Ki Panembahan Ronggo Jumeno atau biasa disebut Ki Ageng Ronggo. Asal kata Madiun dapat diartikan dari kata “medi” (hantu) dan “ayun-ayun” (berayunan), maksudnya adalah bahwa ketika Ronggo Jumeno melakukan “Babat tanah Madiun” terjadi banyak hantu yang berkeliaran. Penjelasan kedua karena nama keris yang dimiliki oleh Ronggo Jumeno bernama keris Tundhung Medhiun. Pada mulanya bukan dinamakan Madiun, tetapi Wonoasri.
Sejak awal Madiun merupakan sebuah wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dalam perjalanan sejarah Mataram, Madiun memang sangat strategis mengingat wilayahnya terletak di tengah-tengah perbatasan dengan Kerajaan Kadiri (Daha). Oleh karena itu pada masa pemerintahan Mataram banyak pemberontak-pemberontak kerajaan Mataram yang membangun basis kekuatan di Madiun. Seperti munculnya tokoh Retno Dumilah.
Beberapa peninggalan Kadipaten Madiun salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun, Masjid Tertua di Madiun yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, serta sendang (tempat pemandian) keramat.
Sejak masa Hindia-Belanda, Madiun adalah suatu gemeente yang berpemerintahan sendiri (swapraja) karena komunitas Belanda yang bekerja di berbagai perkebunan dan industri tidak ingin diperintah oleh Bupati (yang adalah orang Jawa). Sebagai suatu kota swapraja, Madiun didirikan 20 Juni 1918, dengan dipimpin pertama kali oleh asisten residen Madiun. Baru sejak 1927 dipimpin oleh seorang wali kota. Berikut adalah wali kota Madiun sejak 1927 [18]:
  1. Mr. K. A. Schotman
  2. J.H. Boerstra
  3. Mr. L. van Dijk
  4. Mr. Ali Sastro Amidjojo
  5. Dr. Mr. R. M. Soebroto
  6. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo
  7. Soedibjo
  8. R. Poerbo Sisworo
  9. Soepardi
  10. R. Mochamad
  11. R. M. Soediono
  12. R. Singgih
  13. R. Moentoro
  14. R. Moestadjab
  15. R. Roeslan Wongsokoesoemo
  16. R. Soepardi
  17. Soemadi
  18. Joebagjo
  19. R. Roekito, B.A.
  20. Drs. Imam Soenardji
  21. Achmad Dawaki, B.A.
  22. Drs. Marsoedi
  23. Drs. Masdra M. Jasin
  24. Drs. Bambang Pamoedjo
  25. Drs. H. Achmad Ali
  26. H.Kokok Raya, S.H., M.Hum
  27. Drs. H. Bambang Irianto, SH.MM
Kota Madiun dahulu merupakan pusat dari Karesidenan Madiun, yang meliputi wilayah Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan. Meski berada di wilayah Jawa Timur, secara budaya Madiun lebih dekat ke budaya Jawa Tengahan (Mataraman atau Solo-Yogya), karena Madiun lama berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram.
Pada tahun 1948, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun yang dipimpin oleh Musso di daerah Dungus, Wungu, Kabupaten Madiun yang sekarang di kenal dengan nama Monumen Kresek.
sumber: wikipedia.org

Logo Kabupaten Bojonegoro

Add Comment
Logo Kabupaten Bojonegoro, Lambang Kabupaten Bojonegoro, Logo Kabupaten Bojonegoro cdr , logo vector Kabupaten Bojonegoro, arti lambang Kabupaten Bojonegoro, gambar Kabupaten Bojonegoro, download logo Kabupaten Bojonegoro, gambar Logo Kabupaten Bojonegoro, vektor logo Kabupaten Bojonegoro gratis
Logo Kabupaten Bojonegoro

Lukisan Lambang Daerah

  1. Sebuah bintang bersegi lima
  2. Sebuah tugu kepahlawanan yang berdiri tegak diatas sebuah denah bertingkat lima
  3. Kesatuan gelombang air yang terjadi dari lima arus dengan masing-masing terdiri dari empat riak
  4. Tangkai padi yang memiliki empat puluh lima butir dan tangkai kapas yang memiliki tujuh belas rangkai bunga yang tengah merekah
  5. Sehelai pita pelangi

Susunan Lambang Daerah

  1. Dibagian atas terdapat bintang bersegi lima yang bersinar di atas tugu kepahlawanan yang berdenah lima tingkat
  2. Dibawah tugu kepahlawanan terlukis gelombang air terdiri dari lima arus dengan masing-masing 4 riak
  3. Seluruh lukisan lambang bertatahkan kata-kata hikmah: JER KARTA RAHARJA MAWA KARYA

Bentuk, Warna, Isi dan Arti Lambang Daerah

  1. Bentuk perisai dengan warna dasar Merah dan Putih berbingkai warna hitam pekat, melambangkan kesiap-siagaan, kewaspadaan dan dengan penuh keberanian serta segala kesucian hati, untuk menangkis menanggulangi dan mengatasi segala pengaruh yang datang dari luar, yang dapat merugikan perjuangan bangsa dan negara
  2. Segi 8 dari perisai mengandung makna “bulan delapan” sebagai bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
  3. Bintang bersegi 5 dengan warna kuning emas yang bersinar di atas tugu kepahlawanan menggambarkan pancaran keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, telah menjiwai semangat perjuangan yang tak pernah padam dalam mencapai, mempertahankan serta mengisi Kemerdekaan
  4. Denah Tugu Kepahlawanan bertingkat 5 melambangkan tegaknya cita-cita dan semangat Proklamasi Kemerdekaan diatas landasan falsafah hidup Pancasila yang tidak kunjung padam
  5. Gelombang air dengan warna biru kelam diatas hamparan air berwarna biru muda melambangkan sumber potensi alam dan makhluk Tuhan yang tersebar diseluruh penjuru daerah serta tekad dan usaha yang dinamis untuk membebaskan diri dari masalah air
  6. Tangkai padi dengan 45 butir berwarna kuning keemasan, dalam satu ikatan dengan tangkai kapas yang berbunga 17 kuntum yang tengah merekah berwarna putih perak melambangkan ketinggian cita-cita dan besarnya tekad berjuang kearah terciptanya kebutuhan pangan sandang masyarakat dengan berlandaskan jiwa Proklamasi Kemerdekaan mencapai kebahagiaan dan Kesejahteraan rakyat
  7. 45 butir dengan 17 kuntum bunga kapas mengambil makna tahun dan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
  8. Lukisan kata BOJONEGORO dengan warna huruf hitam pekat mengandung makna bahwa Bojonegoro adalah daerah yang gagah perkasa dan teguh hati dalam menghadapi setiap tantangan
  9. Pita pelangi dengan warna coklat kayu yang berlukiskan kata: JER KARYA RAHARJA MAWA KARYA merupakan tema hidup masyarakat adil dan makmur dengan Ridlo Tuhan Yang Maha Esa dengan kekayaan alam yang ada di daerah
  10. JER KARTA RAHARJA MAWA KARYA mengandung makna kiasan bahwa suatu usaha untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat tak pernah kunjung tiba tanpa dibarengi dengan bekerja keras dan bekerja nyata atas dasar pengabdian yang tulus dan ikhlas
  11. Keseluruhannya dirangkum oleh untaian tangkai padi dan bunga kapas bertemu pada kedua pangkal tangkai

Sejarah Kabupaten Bojonegoro


Masa kehidupan sejarah Indonesia kuno ditandai oleh pengaruh kuat kebudayaan Hindu yang datang dari India sejak abad I yang membedakan warna kehidupan sejarah Indonesia jaman Madya dan jaman Baru. Sedangkan Bojonegoro masih dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sampai abad XVI ketika runtuhnya kerajaan Majapahit, kekuasaan pindah ke Demak, Jawa Tengah. Bojonegoro menjadi wilayah kerajaan Demak, sehingga sejarah Bojonegoro kuno yang bercorak Hindu dengan fakta yang berupa penemuan-penemuan banyak benda peninggalan sejarah asal jaman kuno di wilayah hukum Kabupaten Bojonegoro mulai terbentuk. Slogan yang tertanam dalam tradisi masyarakat sejak masa Majapahit "sepi ing pamrih, rame ing gawe" tetap dimiliki sampai sekarang.

Bojonegoro sebagai wilayah kerajaan Demak mempunyai loyalitas tinggi terhadap raja dan kerajaan. Kemudian sehubungan dengan berkembangnya budaya baru yaitu Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak dan terjadilah pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai lama Hindu ke nilai baru Islam tanpa disertai gejolak. Raden Patah, Senopati Jumbun, Adipati Bintoro, diresmikan sebagai raja I awal abad XVI dan sejak itu Bojonegoro menjadi wilayah kedaulatan Demak. Dalam peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan membawa Bojonegoro masuk dalam wilayah kerajaan Pajang dengan raja Raden Jaka Tinggkir Adipati Pajang pada tahun 1568. Pangeran Benawa, putra Sultan Pajang, Adiwijaya merasa tidak mampu untuk melawan Senopati yang telah merebut kekuasaan Pajang 1587. Maka Senopati memboyong semua benda pusaka kraton Pajang ke Mataram, sehingga Bojonegoro kembali bergeser menjadi wilayah kerajaan Mataram. Daerah Mataram yang telah diserahkan Sunan Amangkurat kepada VOC berdasarkan perjanjian, adalah pantai utara Pulau Jawa, sehingga merugikan Mataram. Perjanjian tahun 1677 merupakan kekalahan politik berat bagi Mataram terhadap VOC. Oleh karena itu, status kadipaten pun diubah menjadi kabupaten dengan wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Toemapel yang juga merangkap sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang pada tanggal 20 Oktober 1677. Maka tanggal, bulan dan tahun tersebut ditetapkan sebagai HARI JADI KABUPATEN BOJONEGORO. Pada tahun 1725 Susuhunan Pakubuwono II naik tahta. Tahun itu juga Susuhunan memerintahkan agar Raden Tumenggung Haria Mentahun I memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Jipang dari Padangan ke Desa Rajekwesi. Lokasi Rajekwesi ± 10 Km di selatan kota Bojonegoro. Sebagai kenangan pada keberhasilan leluhur yang meninggalkan nama harum bagi Bojonegoro, tidak mengherankan kalau nama Rajekwesi tetap dikenang di dalam hati rakyat Bojonegoro sampai sekarang.

Logo Kabupaten Tuban

3 Comments
Logo Kabupaten Tuban, Lambang Kabupaten Tuban, Logo Kabupaten Tuban cdr , logo vector Kabupaten Tuban, arti lambang Kabupaten Tuban, gambar Kabupaten Tuban, download logo Kabupaten Tuban, gambar Logo Kabupaten Tuban, vektor logo Kabupaten Tuban gratis

Logo Kabupaten Tuban
  PENJELASAN ARTI LAMBANG DAERAHPEMERINTAH KABUPATEN TUBAN
DASAR
Peraturan Daerah Kaupaten Tuban  Nomor: 2/Prt/DPRD-GR/69 tanggal 16 Agustus 1969 : Pasal 1
Lambang Daerah Kabupaten Tuban terbagai atas 8 bagian, yaitu:
1.    Perisai berdiri tegak yang bersudut lima
2.    Kuda hitam yang berdiri ditengah-tengah gapura putih.
3.    Gapura Putih
4.    Bintang Kuning emas bersudut lima diatas gapura putih
5. Batu hitam berbentuk umpak yang menjadi tumpuan kuda hitam; dan pancaran air berwarna biru muda
6.    Pegunungan berwarna hijau daun jati dan bijinya untaian kacang tanah.
7.    Perahu emas dan laut biru
8. Kata "Tuban" ditulis diatas pita antara pangkal daun jati dan untaian kacang tanah.
Penjelasan arti Lambang Daerah Kabupaten Tuban
Bentuk perisai putih yang bersudut lima
Dengan jiwa yang suci murni dan hati yang tulus ikhlas masyarakat Tuban menjunjung tinggi Pancasila. Sekaligus merupakan perisai masyarakat dalam menghalau segenap rintangan dan halangan untuk menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa
Kuda Hitam dan Tapal Kuda Kuning
Kuda Hitam adalah kesayangan Ronggolawe, pahlawan yang diagungkan oleh masyarakat Tuban karena keikhlasannya mengabdi kepada Negara watak kesatriaannya yang luhur dan memiliki keberanian yang luar biasa.
Tapal Kuda Ronggolawe berwarna kuning emas melingkari warna dasar merah dan hitam melambangkan kepahlawanan yang cemerlang dari Ronggolawe.
Gapura putih ( Gapura Masjid Sunan Bonang )
Melambangkan pintu gerbang masuknya Agama Islam yang dibawakan oleh " Wali Songo" antara lain Makdum Ibrahim yang dikenal dengan nama Sunan Bonang, dengan iktikad yang suci murni dan hati yang tulus ikhlas, masyarakat Tuban melanjutkan perjuangan yang pernah dirintis oleh para " WaliSongo"
Bintang Kuning bersudut lima
Rasa Tauhid kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memancar didada tiap -tiap insan rakyat Tuban memberikan kesegaran dan keteguhan iman, dalam berjuang mencapai cita - cita yang luhur.
Batu Hitam berbentuk Umpak dan Pancaran air berwarna biru muda
Menunjuk dongeng kuno tentang asal kata Tuban
a.  Batu hitam berbentuk umpak ialah Batu Tiban
Dari kata ini terjadilah kata Tu - ban
b.  Pancaran air atau sumber air ialah Tu - banyu
( mata air) dari kata - kata Tu - ban
Pegunungan berwarna hijau daun jati dan bijinya serta untaian kacang tanah
Tuban penuh dengan pegunungan yang berhutan jati dan tanah-tanah pertanian yang subur dengan tanaman kacang
Pegunungan berwarna hijau mengandung arti: masyarakat Kabupaten Tuban mempunyai harapan besar akan terwujudnya masyarakat yang adil makmur yang diridloi Tuhan Yang Maha Esa
 
Perahu Emas, Laut Biru dengan Gelombang Putih sebanyak tiga buah.
Sebelah utara Kabupaten Tuban adalah lautan yang kaya raya yang merupakan potensi ekonomi Penduduk pesisir Kabupaten Tuban. Penduduk Pesisir utara adalah nelayan-nelayan yang gagah berani.
Dalam kedamaian dan kerukunan masyarakat Daerah Kabupaten Tuban untuk membangun Daerahnya menghadapi tiga sasaran :
1.    Pembangunan dan peningkatan perbaikan mental dan kerohanian;
2.    Pembangunan ekonomi;
Pembangunan prasarana yang meliputi jalan-jalan, air dsb.
Keterangan angka
1.    Lekuk gelombang laut sebanyak 17: melambangkan tanggal 17
2.    Lubang Tapal Kuda berjumlah 8: melambangkan bulan Agustus
3.    Daun dan biji jati melambangkan angka 45.
dengan demikian masyarakat Kabupaten Tuban menjunjung tinggi Hari Proklamasi Kemerdekaan Negara Indonesia. Semangat Proklamasi menjiwai perjuangan dan cita-cita masyarakat Kabupaten Tuban.
Sumber Berita: www.tubankab.go.id

Logo Kota Batu

Add Comment
Logo Kota Batu, Lambang Kota Batu, Logo  cdr Kota Batu, logo vector Kota Batu, arti lambang Kota Batu, gambar , download logo Kota Batu, gambar LogoKota Batu , vektor logo Kota Batu gratis

Logo Kota Batu
Kota Batu adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak 15 km sebelah barat Kota Malang, berada di jalur Malang-Kediri dan Malang-Jombang. Kota Batu berbatasan langsung dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan di sebelah utara serta dengan Kabupaten Malang di sebelah timur, selatan, dan barat. Wilayah kota ini berada di ketinggian 680-1.200 meter dari permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 15-19 derajat Celsius.

Sejak abad ke-10, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan, karena wilayah adalah daerah pegunungan dengan kesejukan udara yang nyaman, juga didukung oleh keindahan pemandangan alam sebagai ciri khas daerah pegunungan.

Pada waktu pemerintahan Raja Sindok , seorang petinggi Kerajaan bernama Mpu Supo diperintah Raja Sendok untuk membangun tempat peristirahatan keluarga kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air. Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.

Atas persetujuan Raja, Mpu Supo yang konon kabarnya juga sakti mandraguna itu mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan serta dibangunnya sebuah candi yang diberi nama Candi Supo.

Ditempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin dan sejuk seperti semua mata air di wilayah pegunungan. Mata air dingin tersebut sering digunakan mencuci keris-keris yang bertuah sebagai benda pusaka dari kerajaan Sendok. Oleh karena sumber mata air yang sering digunakan untuk mencuci benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan supranatural (Magic) yang maha dasyat, akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk akhirnya berubah menjadi sumber air panas. Dan sumberair panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.

Wilayah Kota Batu yang terletak di dataran tinggi di kaki Gunung Panderman dengan ketinggian 700 sampai 1100 meter di atas permukaan laut, berdasarkan kisah-kisah orang tua maupun dokumen yang ada maupun yang dilacak keberadaannya, sampai saat ini belum diketahui kepastiannya tentang kapan nama "B A T U" mulai disebut untuk menamai kawasan peristirahatan tersebut.

Dari beberapa pemuka masyarakat setempat memang pernah mengisahkan bahwa sebutan Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama Abu Ghonaim atau disebut sebagai Kyai Gubug Angin yang selanjutnya masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan panggilan Mbah Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering memperpendek dan mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang dirasa terlalu panjang, juga agar lebih singkat penyebutannya serta lebih cepat bila memanggil seseorang, akhirnya lambat laun sebutan Mbah Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu atau batu sebagai sebutan yang digunakan untuk Kota Dingin di Jawa Timur.

Sedikit menengok ke belakang tentang sejarah keberadaan Abu Ghonaim sebagai cikal bakal serta orang yang dikenal sebagai pemuka masyarakat yang memulai babat alas dan dipakai sebagai inspirasi dari sebutan wilayah Batu, sebenarnya Abu Ghonaim sendiri adalah berasal dari JawaTengah. Abu Ghonaim sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang setia, dengan sengaja meninggalkan daerah asalnya Jawa Tengah dan hijrah dikaki Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran dan penangkapan dari serdadu Belanda (Kompeni)

Abu Ghonaim atau Mbah Wastu yang memulai kehidupan barunya bersama dengan masyarakat yang ada sebelumnya serta ikut berbagi rasa, pengetahuan dan ajaran yang diperolehnya semasa menjadi pengikut Pangeran Diponegoro. Akhirnya banyak penduduk dan sekitarnya dan masyarakat yang lain berdatangan dan menetap untuk berguru, menuntut ilmu serta belajar agama kepada Mbah Wastu.

Bermula mereka hidup dalam kelompok (komunitas) di daerah Bumiaji, Sisir dan Temas akhirnya lambat laun komunitasnya semakin besar dan banyak serta menjadi suatu masyarakat yang ramai.
dikutip dari Wikipedia

Logo Kabupaten Blitar

Add Comment
Logo Kabupaten Blitar, Lambang Kabupaten Blitar, Logo  cdr Kabupaten Blitar, logo vector Kabupaten Blitar, arti lambang Kabupaten Blitar, gambar Kabupaten Blitar, download logo Kabupaten Blitar, gambar Logo Kabupaten Blitar, vektor logo Kabupaten Blitar gratis

Kabupaten Blitar adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Pusat pemerintahan kabupaten ini berada di Kota Kanigoro setelah sebelumnya satu wilayah dengan Kota Blitar.
Logo Kabupaten Blitar
Sejarah Asal nama
Nama Blitar dipercaya berasal dari frase bali dadi latar (kembali jadi halaman). Kata tersebut diteriakkan oleh Prabu Mahesa Sura saat meregang nyawa di sumur yang dibuatnya sendiri sebagai mahar untuk Dewi Kilaswara.
Masa kerajaan

Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri dan Mojokerto, seakan-akan "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori natural seats of power yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919. Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas.

Jika saat ini Kediri dan Malang dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui Mojosari atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909.

Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai.

Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar merupakan daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari). Banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah ini (kira-kira 21 prasasti) bisa dikaitkan dengan alasan tersebut. Kitab Negarakertagama

Pendapat yang mengatakan bahwa Kabupaten Blitar merupakan daerah perbatasan antara Dhoho dengan Tumapel dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian. Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.
Kitab Pararaton

Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa balatentara Daha yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor... langsung menuju Singosari. Nama atau kata Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa ...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar.
Candi

Oleh karena letaknya yang strategis, Blitar penting artinya bagi kegiatan keagamaan, terutama Hindu, pada masa lalu. Lebih dari 12 candi tersebar di seantero Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di daerah ini adalah Candi Penataran yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok. Menurut riwayatnya, Candi Penataran dahulu merupakan candi negara atau candi utama kerajaan. Pembangunan Candi Penataran dimulai ketika Raja Kertajaya mempersembahkan sima untuk memuja sira paduka bhatara palah yang berangka tahun Saka 1119 (1197 Masehi).

Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan penataran, misalnya Pura Panataransasih. Menurut seorang ahli, kata natar berarti pusat, sehingga Candi Penataran di sini dapat diartikan sebagai candi pusat. Selengkapnya, silakan lihat laman Candi Penataran.

Di sebelah timur Candi Penataran, beberapa tahun yang lalu juga telah ditemukan candi di Doko yang oleh masyarakat setempat dijadikan objek wisata.
Hari jadi

Salah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya. Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian.

Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan dan Mleri (Weleri) di Srengat.

Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.

Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati.[9] Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
Arti lambang

Lambang Daerah Kabupaten Blitar terdiri dari 9 (sembilan) bagian dengan bentuk, macam dan maknanya sebagai berikut:
  Bentuk seluruhnya merupakan segi lima : Lambang Pancasila.
 Candi penataran : Peninggalan Majapahit sebagai lambang kebudayaan yang luhur.
 Keris Pusaka : Lambang semangat dan jiwa kepahlawanan rakyat Blitar, sejak masa dahulu hingga sekarang.
 Sungai brantas dengan warna biru diatas dasar warna hijau dan kuning : Lambang kemakmuran, membagi daerah Blitar, menjadi 2 bagian, yang sebelah utara sungai daerah makmur dan sebelah selatan daerah kurang makmur.
 Pangkal keris dengan bentuk gunung dengan api yang menyalanyala : Lambang kedinamisan rakyat Blitar yang tak putus asa, dan patah semangat, malahan semakin membaja, pantang mundur dalam berjuang dalam menghadapi malapetaka.
 Pohon beringin : Lambang pengayoman pemerintahan yang diharapharapkan oleh rakyat demi keadilan
 Segi 5 (lima) ditengah warna biru muda : Lambang kegotongroyongan dalam suasana aman dan damai
 Padi kapas : Lambang sandang dan pangan kemakmuran buah kapas = 8 dan butir padi = 17 mengingatkan kita kepada cita-cita revolosi 17 – 8 – 45
 Pita dwiwarna dengan bintang emas bersudut.
dikutip dari Wikipedia

Logo Kabupaten Lumajang

Add Comment
Logo Kabupaten Lumajang, Lambang Kabupaten Lumajang, Logo  cdr Kabupaten Lumajang, logo vector Kabupaten Lumajang, arti lambang Kabupaten Lumajang, gambar Kabupaten Lumajang, download logo Kabupaten Lumajang, gambar Logo Kabupaten Lumajang, vektor logo Kabupaten Lumajang gratis

Logo Kabupaten Lumajang
          Bumi LUMAJANG sejak jaman Nirleka dikenal sebagai daerah yang "PANJANG-PUNJUNG PASIR WUKIR GEMAH RIPAH LOH JINAWI TATA TENTREM KERTA RAHARJA".
          PANJANG-PUNJUNG berarti memiliki sejarah yang lama. Dari peninggalan-peninggalan Nirleka maupun prasasti yang banyak ditemukan di daerah Lumajang cukup membuktikan hal itu.
          Beberapa prasasti yang pernah ditemukan, antara lain Prasasti Ranu Gumbolo. Dalam prasasti tersebut terbaca "LING DEVA MPU KAMESWARA TIRTAYATRA". Pokok-pokok isinya adalah bahwa Raja Kameswara dari Kediri pernah melakukan TIRTAYATRA ke dusun Tesirejo kecamatan Pasrujambe, juga pernah ditemukan prasasti yang merujuk pada masa pemerintahan Raja Kediri KERTAJAYA.
Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain :

    Prasasti Mula Malurung
    Naskah Negara Kertagama
    Kitab Pararaton
    Kidung Harsa Wijaya
    Kitab Pujangga Manik
    Serat Babat Tanah Jawi
    Serat Kanda

          Dari Prasasti Mula Manurung yang ditemukan di Kediri pada tahun 1975 dan ber-angka tahun 1177 Saka (1255 Masehi) diperoleh informasi bahwa NARARYYA KIRANA, salah satu dari anak Raja Sminingrat (Wisnu Wardhana) dari Kerajaan Singosari, dikukuhkan sebagai Adipati (raja kecil) di LAMAJANG(Lumajang). Pada tahun 1255 Masehi, tahun yang merujuk pada pengangkatan NARARYYA KIRANA sebagai Adipati di Lumajang inilah yang kemudian dijadikan sebagai sebagai dasar penetapan Hari Jadi Lumajang (HARJALU).

          Dalam Buku Pararaton dan KIDUNG HARSYA WIJAYA disebutkan bahwa para pengikut Raden Wijaya atau Kertarajasa dalam mendirikan Majapahit, semuanya diangkat sebagai Pejabat Tinggi Kerajaan. Di antaranya Arya Wiraraja diangkat Maha Wiradikara dan ditempatkan di Lumajang, dan putranya yaitu Pu Tambi atau Nambi diangkat sebagai Rakyan Mapatih.

          Pengangkatan Nambi sebagai Mapatih inilah yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan di Majapahit. Apalagi dengan munculnya Mahapati(Ramapati) seorang yang cerdas, ambisius dan amat licik. Dengan kepandaiannya berbicara, Mahapati berhasil mempengaruhi Raja. Setelah berhasil menyingkirkan Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Suro, dan Gajah Biru, target berikutnya adalah Nambi.

          Nambi yang mengetahui akan maksud jahat itu merasa lebih baik menyingkir dari Majapahit. Kebetulan memang ada alasan, yaitu ayahnya(Arya Wiraraja) sedang sakit, maka Nambi minta izin kepada Raja untuk pulang ke Lumajang. Setelah Wiraraja meninggal pada tahun 1317 Masehi, Nambi tidak mau kembali ke Majapahit, bahkan membangun Beteng di Pajarakan. Pada 1316, Pajarakan diserbu pasukan Majapahit. Lumajang diduduki dan Nambi serta keluarganya dibunuh.

          Pupuh 22 lontar NAGARA KERTAGAMA yang ditulis oleh Prapanca menguraikan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang. Selain NAGARA KERTAGAMA, informasi tentang Lumajang diperoleh dari Buku Babad. Dalam beberapa buku babad terdapat nama-nama penguasa Lumajang, yaitu WANGSENGRANA, PUTUT LAWA, MENAK KUNCARA(MENAK KONCAR) dan TUMENGGUNG KERTANEGARA. Oleh karena kemunculan tokoh-tokoh itu tidak disukung adanya bukti-bukti yang berupa bangunan kuno, keramik kuno, ataupun prasasti, maka nama-nama seperti MENAK KONCAR hanyalah tokoh dongeng belaka.

          Di tepi Alun-alun Lumajang sebelah utara terdapat bangunan mirip candi, berlubang tembus, terdapat CANDRA SENGKALA yang berbunyi "TRUSING NGASTA MUKA PRAJA" (TRUS=9, NGASTA=2, MUKA=9, PRAJA=1). Bangunan ini merupakan tetenger atau penanda, ditujukan untuk mengenang peristiwa bersejarah, yaitu pada tahun 1929. Lumajang dinaikkan statusnya menjadi REGENTSCAH otonom per 1 Januari 1929 sesuai Statblat Nomor 319, 9 Agustus 1928. Regentnya RT KERTO ADIREJO, eks Patih Afdelling Lumajang (sebelumnya Lumajang masuk wilayah administratif Kepatihan dari Afdelling Regentstaschap atau Pemerintah Kabupaten Probolinggo).

          Pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1942-1949, Lumajang dijadikan sebagai basis perjuangan TNI dengan dukungan rakyat.

          Nama-nama seperti KAPTEN KYAI ILYAS, SUWANDAK, SUKERTIYO, dan lain-lainnya, baik yang gugur maupun tidak, yang dikenal atau tak dikenal, adalah para kusuma bangsa yang dengan meneruskan perjuangan para pahlawan kusuma bangsa itu dengan bekerja secara tulus, menjauhkan kepentingan pribadi, jujur, amanah, dan bersedia berkorban demi kemajuan Lumajang Tercinta.

          Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Derah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990

          Sejak tahun 1928 Pemerintahan Belanda menyerahkan segala urusan segala pemerintahan kepada Bupati Lumajang pertama KRT Kertodirejo. Yang ditandai dengan monumen / tugu yang terletak di depan pintu gerbang Alun-alun sebelah utara.
Keterangan Arti Dan Makna Lambang Daerah
Kabupaten Lumajang

Keterangan terbagi atas tiga bagian :

I. Keterangan Bentuk Gambar Lambang.
II. Keterangan Warna Gambar Lambang.
III.Keterangan Makna Gambar Lambang.

I. Keterangan Bentuk Gambar Lambang.

    Lambang berbentuk perisai segi enam tak beraturan yang distilir secara simetris dengan bingkai pada kelilingnya.

    Di bagian tengah lambang terlukis perpaduan yang terdiri atas tugu nasional kota Lumajang latar belakang gunung Semeru dengan nyala api dipuncaknya dan petak-petak sawah dengan dikelilingi untaian daun tembakau yang berjumlah delapan.

    Melingkar disebelah kiri dan kanan adalah untaian padi dan kapas yang masing-masing berjumlah berjumlah empat empat puluh lima dan tujuh belas.
    Di atasnya terlukis bintang segi lima beraturan.

    Di bagian atas Lambang bertuliskan bertuliskan kata :"KABUPATEN LUMAJANG" dan dibawah lambang didalam sehelai pita tertulis kata : "AMRETA BRATA WIRA BHAKTI" sebuah sasanti/motto dalam bahasa Kawi.

II. Keterangan Warna Gambar Lambang.

    Dasar perisai pada Lambang berwarna hijau tua dengan bingkai berwarna Merah Putih.

    Tugu tampak sebagai sillouet berwarna putih kontur hitam. Gunung berwarna biru muda dan nyala api berwarna merah putih. Petak-petak sawah berwarna hijau tua dan tembakau berwarna coklat dengan tulang daun hitam.

    Padi dan kapas berwarna putih.

    Bintang segi lima berwarna kuning dengan kontur putih.

    Tulisan "KABUPATEN LUMAJANG" berwarna putih. Pita dan sasanti berwarna putih dan tulisan hitam.

III. Keterangan Makna Gambar Lambang.

    Bentuk perisai pada lambang melukiskan sikap jiwa yang tahan uji, tabah dan penuh ketetapan hati sebagai dasar dari tiap perbuatan manusia. Warna hijau mencerminkan rasa kedamaian, persahabatan dan toleransi, sekaligus menggambarkan kesuburan daerah Kabupaten Lumajang.

    Bingkai merah putih langsung mengungkapkan hubungan rasa kebangsaan sebagai suatu kesatuan dalam lingkungan Negara Republik Indonesia.

    Paduan yang terlukis dibagian tengah menggambarkan tugu Nasional Kota Lumajang yang menunjukkan kekhususan monumental daerah dengan menandai pada Lumajang sebagai ibu kota Kabupaten.

    Melatarbelakagi tugu tersebut adalah unsur-unsur geografis daerah Lumajang dengan gunung apinya yang terkenal : Semeru sebagai gunung paling tinggi di Pulau Jawa. Dalam mitos pewayangan dikenal sebagai Mahameru, tempat dewa-dewa bersemayam. Suatu tempat tertinggi dimana garis-garis kebijaksanaan dalam mengatur perikehidupan bersama-sama ditetapkan.

    Sedangkan petak-petak sawah melukiskan salah satu unsur terpenting dan yang terutama didaerah Lumajang, ialah unsur agraris. Pertanian didaerah Lumajang, yang utama adalah padi, yang kedua merupakan usaha yang vital dan potensial adalah tembakau, pada lambang dilukiskan sebagai rangkaian daun-daun tembakau yang melingkar ke kiri dan ke kanan.

    Nyala api dipuncak gunung merupakan dinamika yang menjiwai setiap unsur kehidupan bagaikan nyala api gunung Semeru yang tak kunjung padam.

    Untaian padi dan kapas melukiskan sikap hidup sosialistis bangsa dengan bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur material dan spiritual berdasarkan Pancasila adalah merupakan tema yang mengilhami setiap gairah pembangunan.

    Bilangan-bilangan tujuh belas pada kapas, delapan pada tembakau dan empat puluh lima pada padi mengungkapkan Semangat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang menjiwai kerja, setiap unsur pembangunan di Lumajang.

    Bintang segilima di bagian atas melukiskan Pancasila, falsafah negara dan sikap hidup bangsa Indonesia yang wajib dijunjung tinggi dan diagungkan, sebagaiman telah disebutkan pada sila Pertama Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Merupakan dasar dan tujuan hidup Bangsa Indonesia justru karena Pancasila wajib diikrarkan dan diamalkan.

    Tulisan "KABUPATEN LUMAJANG" di bagian atas menyebutkan nama daerah yang digambarkan dan diungkapkan pada lambang.

    Sedangkan pita dibagian lambang menyebutkan sasanti/motto dalam bahasa Kawi : "AMRETA BRATA WIRA BHAKTI" yang maknanya : kebajikan yang kekal abadi adalah sikap perbuatan Ksatria dan penuh pengabdian. Suatu aspirasi dinamis yang diperlukan dalam mengamalkan jiwa Pancasila demi Amanat Penderitaan Rakyat.