Peta Kabupaten Kaimaan (sumber : loketpeta.pu.go.id) |
Sejarah Kabupaten Kaimana
Berikut adalah artikel tentang sejarah dari Kaimana yang di ambil dari beberapa sumber , adapun sejarah lain dari Kaimana bisa di lihat dari sejarah masuknya agama Islam di Kaimana di sini, dan untuk artikel kali ini adalah sejarah Interkasi serta datangnya penduduk diluar Kaimana hingga terbentuk Kabupaten Kaimana itu sendiri. Dan membahas sejarah Kaimana tak terlepas dari sejarah beberapa daerah lain di sekitar kaimana , atau papua secara umum, terutama interaksi antara Kaimana dan daerah-daerah lain di papua dan luar Papua, baik itu disaat masa kejayaan kerajaan Majapahit yang kekuasannya hinga ke Papua, ataupun kerajaan islam setelahnya yang berpengaruh besar terhadap kehidupan beragama dan sosial di Kaimana dan daerah pesisir serta pulau-pulau kecil lainnya di Papua.
Dalam bukunya "Neiuw Guinea", WC. Klein juga menjelaskan fakta awal mula pengaruh kerajaan Bacan di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese hoof den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. ( pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan dimana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan). Menurut sejarah lisan orang Biak, dulu ada hubungan dan pernikahan antara para kepala suku mereka dan para sultan Tidore. Suku Biak merupakan suku Melanesia terbanyak yang menyebar di pantai utara Papua, karena itu bahasa Biak juga terbanyak digunakan dan dianggap sebagai bahasa persatuan Papua. Akibat hubungan daerah-daerah pesisir Papua dengan Sultan-Sultan Maluku maka terdapat beberapa kerajaan lokal (pertuanan) di pulau ini, yang menunjukkan masuknya sistem feodalisme yang merupakan bukan budaya asli etnik Papua. Kerajaan-kerajaan tersebut diantaranya :
- Kerajaan Waigeo
- Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe)
- Kerajaan Salawati (marga Arfan)
- Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)
- Kerajaan Fatagar/(marga Uswanas)
- Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
Kerajaan Atiati (marga Kerewaindzai)
Kerajaan Sekar (marga Rumgesan)
Kerajaan Patipi
Kerajaan Arguni
Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
- Kerajaan Kowiai/kerajaan Namatota
- Kerajaan Aiduma
- Kerajaan Kaimana
Dan Sejarah Kaimana yang akan di bahas disini adalah sejarah perjumpaan. Sejarah bertemunya penduduk asli dan pendatang sehingga membentuk manusia Kaimana kekinian. Letaknya yang di pesisir menyebabkan Kaimana relatif terbuka dan mudah untuk didatangi. Mental identitas yang terbangun adalah spirit kosmopolit yang terbuka dengan hal baru.
Migrasi atau perpindahan penduduk bukan hanya perpindahan fisik semata namun melibatkan perpindahan ide dan atribut sosial seperti agama. Identitas agama yang berbeda pun tidak membuat jarak. Agama keluarga menjadi bukti dari Kaimana sebagai perjumpaan. Tidak ada masalah dengan menganut Islam, Kristen, atau yang lain. Identitas keluarga atau kekerabatan tetap menjadi pemersatu.
Tanpa para pendatang, Kaimana tidak akan pernah ada. Para pendatang tidak hanya datang untuk berdagang akan tetapi juga melakukan pergaulan sosial. Perkawinan antara pendatang dengan penduduk asli atau yang sudah lebih dahulu mendiami Kaimana sering kali terjadi. Kawin campur yang sudah sedari dahulu dilakukan tersebut membuat seakan-akan keaslian orang Kaimana terletak pada percampuran itu.
Seiring dengan perjalanan waktu, konteks politik dan sosial selalu berkembang mengikuti dinamika masyarakat yang bergerak. Pertanyaannya kemudian adalah apakah Masyarakat Kaimana mampu mempertahankan harmoni sosial ditengah situasi sosial-politik yang tidak kondusif? Dampak diberlakukannya Otsus di Papua dan menguatnya radikalisme di kalangan pengikut agama menjadi tantangan bagi keberagaman masyarakat Kaimana. Terseretnya isu identitas dalam politik lokal yang mampu diolah menjadi komoditas politik untuk dijual dalam tiap pemilukada adalah suatu persoalan. Istilah “orang Papua asli” kemudian bukan hanya bermakna semantik semata namun mengandung konsekuensi politik yang kompleks.
Artefak-artefak dari ‘perjumpaan’ tersebut bisa kita temui di berbagai sudut kota dengan adanya kampung-kampung yang dihuni oleh para pendatang seperti Kampung Seram, Kampung Timor, Kampung Buton, dan Kampung Bugis. Deretan rumah-toko berwarna biru muda di jalanan kota Kaimana merupakan wilayah pemukiman warga keturunan Cina. Belum lagi maraknya warung ikan bakar Lamongan, coto makasar, warung nasi padang, dan lain-lain yang didirikan oleh para perantau tersebut.
Jauh sebelum datangnya orang Eropa, sudah terdapat hubungan antara Maluku dengan Papua terutama di daerah pesisir barat atau kepala burung (Upton, 2009: 84). Hal ini bisa dilihat dari adanya kemiripan penggunaan bahasa antara Maluku dengan di Papua. Para penduduk lokal di Desa Namatota, Kaimana menyebut dirinya dengan sebutan ‘beta’ sama seperti di Maluku. Ini tidak mengejutkan karena penduduk Namatota sebagian besar memiliki darah Orang Seram. Kesultanan Tidore juga telah lama menjalin kontak dengan Papua khususnya di daerah pesisir barat dan kepala burung. Dari hubungan dengan Kesultanan Tidore ini membuat penduduk lokal Papua bisa mendapatkan besi untuk membuat senjata (Upton, 2009: 84). Dengan adanya senjata mereka mereka mampu menguasai derah-daerah disekitarnya.
Hubungan kekuasaan dan perdagangan telah berlangsung lama antara sultan-sultan dari Maluku dengan wilayah-wilayah kekuasaannya yang membentang sepanjang pantai barat Papua (Timmer, 2002: 3). Orang-orang dari Seram, Gorom, Ternate, dan Tidore melakukan perdagangan bahkan berbagai tindak kekerasan seperti penculikan, perompakan pada awal abad ke-17 yang kemudian diikuti oleh orang-orang Makasar, Bugis, Arab, dan Cina yang datang belakangan (Timmer, 2002: 3). Komoditas yang diperdagangkan seperti kain, kayu gaharu, emas, massoi, dan budak. Orang-orang dari Sulawesi ini merupakan salah satu kelompok migran yang terpenting sebelum abad 20. Mereka singgah ke pesisir pantai barat untuk kembali meneruskan perjalanan ke Australia utara pada musim-musim tertentu dengan menggunakan perahu (Upton, 2009: 84).
Selain orang-orang Sulawesi, para pedagang dan nelayan dari Cina dan Semenanjung Malaya juga diduga telah berlabuh di pantai barat Papua. Kedatangan orang-orang dari Semenanjung Malaya ini secara sekilas buktinya bisa dilihat dengan adanya kemiripan istilah bahasa seperti penyebutan makian “chukimai” yang juga populer di Kaimana atau pesisir pantai barat Papua pada umumnya. Setelah VOC berkuasa, para pedagang Cina memperoleh privilege untuk berdagang di sekitaran pantai barat Papua (termasuk Kaimana) karena kelihaiannya untuk bernegosiasi dengan penduduk setempat.
Arus migrasi ke Kaimana dan Papua terus berlanjut hingga sekarang. Laju pertumbuhan penduduk di Kaimana mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pada tahun 2010, penduduk Kabupaten Kaimana berjumlah 46.243 jiwa, meningkat cukup pesat dari 26.703 jiwa pada tahun 2000 (BPS, 2010). Bertambahnya jumlah penduduk baik karena faktor natalitas maupun migrasi mengkondisikan lambat-laun terjadinya perubahan sosial di Kaimana yang berpengaruh pada harmoni sosial.
Berikut adalah artikel tentang sejarah dari Kaimana yang di ambil dari beberapa sumber , adapun sejarah lain dari Kaimana bisa di lihat dari sejarah masuknya agama Islam di Kaimana di sini, dan untuk artikel kali ini adalah sejarah Interkasi serta datangnya penduduk diluar Kaimana hingga terbentuk Kabupaten Kaimana itu sendiri. Dan membahas sejarah Kaimana tak terlepas dari sejarah beberapa daerah lain di sekitar kaimana , atau papua secara umum, terutama interaksi antara Kaimana dan daerah-daerah lain di papua dan luar Papua, baik itu disaat masa kejayaan kerajaan Majapahit yang kekuasannya hinga ke Papua, ataupun kerajaan islam setelahnya yang berpengaruh besar terhadap kehidupan beragama dan sosial di Kaimana dan daerah pesisir serta pulau-pulau kecil lainnya di Papua.
Dalam bukunya "Neiuw Guinea", WC. Klein juga menjelaskan fakta awal mula pengaruh kerajaan Bacan di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese hoof den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. ( pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan dimana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan). Menurut sejarah lisan orang Biak, dulu ada hubungan dan pernikahan antara para kepala suku mereka dan para sultan Tidore. Suku Biak merupakan suku Melanesia terbanyak yang menyebar di pantai utara Papua, karena itu bahasa Biak juga terbanyak digunakan dan dianggap sebagai bahasa persatuan Papua. Akibat hubungan daerah-daerah pesisir Papua dengan Sultan-Sultan Maluku maka terdapat beberapa kerajaan lokal (pertuanan) di pulau ini, yang menunjukkan masuknya sistem feodalisme yang merupakan bukan budaya asli etnik Papua. Kerajaan-kerajaan tersebut diantaranya :
- Kerajaan Waigeo
- Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe)
- Kerajaan Salawati (marga Arfan)
- Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)
- Kerajaan Fatagar/(marga Uswanas)
- Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
Kerajaan Atiati (marga Kerewaindzai)
Kerajaan Sekar (marga Rumgesan)
Kerajaan Patipi
Kerajaan Arguni
Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
- Kerajaan Kowiai/kerajaan Namatota
- Kerajaan Aiduma
- Kerajaan Kaimana
Dan Sejarah Kaimana yang akan di bahas disini adalah sejarah perjumpaan. Sejarah bertemunya penduduk asli dan pendatang sehingga membentuk manusia Kaimana kekinian. Letaknya yang di pesisir menyebabkan Kaimana relatif terbuka dan mudah untuk didatangi. Mental identitas yang terbangun adalah spirit kosmopolit yang terbuka dengan hal baru.
Migrasi atau perpindahan penduduk bukan hanya perpindahan fisik semata namun melibatkan perpindahan ide dan atribut sosial seperti agama. Identitas agama yang berbeda pun tidak membuat jarak. Agama keluarga menjadi bukti dari Kaimana sebagai perjumpaan. Tidak ada masalah dengan menganut Islam, Kristen, atau yang lain. Identitas keluarga atau kekerabatan tetap menjadi pemersatu.
Tanpa para pendatang, Kaimana tidak akan pernah ada. Para pendatang tidak hanya datang untuk berdagang akan tetapi juga melakukan pergaulan sosial. Perkawinan antara pendatang dengan penduduk asli atau yang sudah lebih dahulu mendiami Kaimana sering kali terjadi. Kawin campur yang sudah sedari dahulu dilakukan tersebut membuat seakan-akan keaslian orang Kaimana terletak pada percampuran itu.
Seiring dengan perjalanan waktu, konteks politik dan sosial selalu berkembang mengikuti dinamika masyarakat yang bergerak. Pertanyaannya kemudian adalah apakah Masyarakat Kaimana mampu mempertahankan harmoni sosial ditengah situasi sosial-politik yang tidak kondusif? Dampak diberlakukannya Otsus di Papua dan menguatnya radikalisme di kalangan pengikut agama menjadi tantangan bagi keberagaman masyarakat Kaimana. Terseretnya isu identitas dalam politik lokal yang mampu diolah menjadi komoditas politik untuk dijual dalam tiap pemilukada adalah suatu persoalan. Istilah “orang Papua asli” kemudian bukan hanya bermakna semantik semata namun mengandung konsekuensi politik yang kompleks.
Artefak-artefak dari ‘perjumpaan’ tersebut bisa kita temui di berbagai sudut kota dengan adanya kampung-kampung yang dihuni oleh para pendatang seperti Kampung Seram, Kampung Timor, Kampung Buton, dan Kampung Bugis. Deretan rumah-toko berwarna biru muda di jalanan kota Kaimana merupakan wilayah pemukiman warga keturunan Cina. Belum lagi maraknya warung ikan bakar Lamongan, coto makasar, warung nasi padang, dan lain-lain yang didirikan oleh para perantau tersebut.
Jauh sebelum datangnya orang Eropa, sudah terdapat hubungan antara Maluku dengan Papua terutama di daerah pesisir barat atau kepala burung (Upton, 2009: 84). Hal ini bisa dilihat dari adanya kemiripan penggunaan bahasa antara Maluku dengan di Papua. Para penduduk lokal di Desa Namatota, Kaimana menyebut dirinya dengan sebutan ‘beta’ sama seperti di Maluku. Ini tidak mengejutkan karena penduduk Namatota sebagian besar memiliki darah Orang Seram. Kesultanan Tidore juga telah lama menjalin kontak dengan Papua khususnya di daerah pesisir barat dan kepala burung. Dari hubungan dengan Kesultanan Tidore ini membuat penduduk lokal Papua bisa mendapatkan besi untuk membuat senjata (Upton, 2009: 84). Dengan adanya senjata mereka mereka mampu menguasai derah-daerah disekitarnya.
Hubungan kekuasaan dan perdagangan telah berlangsung lama antara sultan-sultan dari Maluku dengan wilayah-wilayah kekuasaannya yang membentang sepanjang pantai barat Papua (Timmer, 2002: 3). Orang-orang dari Seram, Gorom, Ternate, dan Tidore melakukan perdagangan bahkan berbagai tindak kekerasan seperti penculikan, perompakan pada awal abad ke-17 yang kemudian diikuti oleh orang-orang Makasar, Bugis, Arab, dan Cina yang datang belakangan (Timmer, 2002: 3). Komoditas yang diperdagangkan seperti kain, kayu gaharu, emas, massoi, dan budak. Orang-orang dari Sulawesi ini merupakan salah satu kelompok migran yang terpenting sebelum abad 20. Mereka singgah ke pesisir pantai barat untuk kembali meneruskan perjalanan ke Australia utara pada musim-musim tertentu dengan menggunakan perahu (Upton, 2009: 84).
Selain orang-orang Sulawesi, para pedagang dan nelayan dari Cina dan Semenanjung Malaya juga diduga telah berlabuh di pantai barat Papua. Kedatangan orang-orang dari Semenanjung Malaya ini secara sekilas buktinya bisa dilihat dengan adanya kemiripan istilah bahasa seperti penyebutan makian “chukimai” yang juga populer di Kaimana atau pesisir pantai barat Papua pada umumnya. Setelah VOC berkuasa, para pedagang Cina memperoleh privilege untuk berdagang di sekitaran pantai barat Papua (termasuk Kaimana) karena kelihaiannya untuk bernegosiasi dengan penduduk setempat.
Arus migrasi ke Kaimana dan Papua terus berlanjut hingga sekarang. Laju pertumbuhan penduduk di Kaimana mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pada tahun 2010, penduduk Kabupaten Kaimana berjumlah 46.243 jiwa, meningkat cukup pesat dari 26.703 jiwa pada tahun 2000 (BPS, 2010). Bertambahnya jumlah penduduk baik karena faktor natalitas maupun migrasi mengkondisikan lambat-laun terjadinya perubahan sosial di Kaimana yang berpengaruh pada harmoni sosial.
sumber:
politik.lipi.go.id, Memahami Kaimana, Memahami Kemajemukan
Wikipedia, Papua bagian barat
0 Komentar