Tampilkan postingan dengan label Pulau Indah yang Penuh Prahara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pulau Indah yang Penuh Prahara. Tampilkan semua postingan

Siprus, Pulau Indah yang Penuh Prahara

1 Comment

Foto satelit dari Pulau Siprus.
Siprus adalah suatu pulau yg terletak di tengah-tengah Laut Mediterania bagian timur. Pulau tersebut berbatasan dengan lepas pantai Turki di utara, Afrika utara di selatan, serta pantai barat Timteng di sebelah timur. Karena letaknya yg berada di Eropa selatan & di tengah-tengah laut, Siprus memiliki iklim yg relatif hangat. Dikombinasikan dengan keindahan panorama & peninggalan bersejarahnya, Siprus menjadi salah satu tujuan wisata favorit para pelancong. Sayang, konflik berdarah antara etnis mayoritas Yunani dengan minoritas Turki di pulau tersebut telah membuat Siprus menjadi salah satu pulau paling membara pasca Perang Dunia Kedua…
Sejarah Sebelum Siprus Merdeka
Menjelang akhir abad ke-16, Kekaisaran Turki Ottoman menaklukkan pulau Siprus & menjadikannya sebagai bagian dari wilayah Ottoman. Masuknya Siprus sebagai bagian dari Kekaisaran Ottoman diikuti dengan masuknya orang-orang Turki ke tanah Siprus & sejak periode itu, etnis Turki menjadi etnis paling dominan kedua sesudah etnis mayoritas Yunani yg sudah menempati pulau tersebut sejak berabad-abad silam. Di bawah kendali Kekaisaran Ottoman, kepala dari Gereja Siprus menjadi pemimpin dari populasi etnis Yunani di Siprus sekaligus menjadi mediator dengan Kekaisaran Ottoman.
Pasca Perang Rusia-Turki yg berakhir tahun 1876, terjadi perundingan antara Kerajaan Inggris dengan Kekaisaran Ottoman 2 tahun sesudahnya. Hasilnya, berdasarkan Konvensi Siprus pada tahun yg sama, Siprus menjadi wilayah prokterat Inggris di mana Inggris boleh memakai pulau tersebut sebagai pangkalan militernya untuk membantu Turki menghadapi invasi Rusia berikutnya. Namun pasca Perang Dunia I – di mana Inggris & Turki berada di kubu yg berseberangan yg diikuti dengan runtuhnya Kekaisaran Turki Ottoman – Siprus akhirnya menjadi bagian dari wilayah permanen Inggris sejak tahun 1914.
Inggris kemudian menawarkan Pulau Siprus ke Yunani pada tahun 1915 dengan harapan Yunani akan membantu Inggris dalam peperangan, namun tawaran itu ditolak oleh Perdana Menteri Yunani yg memilih tetap bersikap netral selama perang berlangsung. Pasca berdirinya pemerintahan republik Turki pada tahun 1923, pemerintah Turki menyatakan bahwa mereka mengakui kekuasaan Inggris atas pulau tersebut. Pernyataan tersebut lalu direspon dengan upaya-upaya pemberontakan yg dilakukan oleh orang-orang Yunani Siprus terhadap otoritas Inggris di pulau tersebut demi mengupayakan penyatuan Siprus dengan Yunani (dikenal juga dengan istilah “enosis”).
Pasca Perang Dunia II, Yunani mulai mengupayakan enosis & membawa isu tersebut ke PBB dengan berpegang pada hasil referendum yg diadakan oleh pihak Gereja Siprus di mana 97 % komunitas Yunani Siprus menyetujui enosis (referendum itu diboikot oleh komunitas Turki Siprus, btw). Di lain pihak, Turki menentang upaya enosis karena menurut Turki, Siprus terdiri dari 2 etnis dominan (Turki & Yunani) & masing-masing etnis harus diberi kebebasan mendirikan wilayah sendiri-sendiri. Ide Turki tersebut kemudian dikenal dengan istilah “taksim”. Inggris sebagai pemilik de jure atas Siprus sendiri cenderung bersikap netral dalam masalah ini karena baik Yunani maupun Turki sama-sama merupakan anggota NATO.
Sebagai akibat dari upaya enosis yg selalu mendapat penolakan dari Inggris, tahun 1955 sekelompok simpatisan Yunani Siprus – dipimpin oleh George Grivas – mendirikan kelompok bersenjata bernama Ethniki Organosis Kyprion Agoniston (EOKA; Organisasi Nasional Pejuang Siprus) dengan tujuan memperjuangkan “enosis” melalui aksi-aksi bersenjata. Aksi-aksi bersenjata mereka yg mencakup pemboman, penembakan, & sabotase pada awalnya hanya ditujukan kepada pihak otoritas Inggris, namun belakangan mereka juga mengincar komunitas Turki di Siprus. Maka 3 tahun kemudian, komunitas Turki di Siprus mendirikan kelompok bersenjata bernama Türk Mukavemet Teskilati (TMT; Organisasi Perlawanan Turki) untuk melindungi komunitas Turki Siprus dari serangan EOKA.
Logo dari EOKALogo dari TMT
Tahun 1959, Inggris mengimplementasikan apa yg dikenal sebagai Perjanjian Zurich-London (Zurich-London Agreement). Proses pembuatan perjanjian tersebut tidak melibatkan pihak Yunani & Turki, namun keduanya menyetujui perjanjian tersebut. Beberapa poin penting dari perjanjian itu adalah isu taksim & enosis tidak boleh dimunculkan, presiden Siprus haruslah dari etnis Yunani & wakilnya haruslah etnis Turki, serta Inggris tetap boleh menempatkan pangkalan militernya di Siprus. Siprus kemudian resmi dimerdekakan pada tanggal 15 Agustus 1960 dengan Inggris, Yunani, & Turki bertanggung jawab atas kelanggengan perjanjian tersebut dengan bersandar pada Traktat Jaminan (Treaty of Guarantee) & Traktat Aliansi (Treaty of Alliance).
Pasca Siprus Merdeka : Munculnya Konflik Etnis
Setelah Siprus merdeka, masalah baru muncul. Sistem birokrasi yg dibuat di Siprus untuk mengakomodasi kepentingan etnis Turki dianggap terlalu berbelit-belit & tidak efisien yg berakibat aktivitas pemerintahan sulit berjalan, terutama yg berkaitan dengan tata kota & perpajakan. Maka pada tahun 1963 Presiden Makarios mengajukan 13 amandemen untuk mengatasi masalah-masalah yg timbul. Beberapa poin penting dari amandemen tersebut adalah penghapusan hak veto yg selama ini dimiliki presiden-wakil presiden, meninggalkan usulan sistem tata kota yg diinginkan etnis Turki Siprus, & penerapan sistem persentase populasi dalam sistem birokrasi sipil – menggantikan sistem birokrasi sebelumnya yg dianggap tidak proporsional karena porsi etnis Turki dalam parlemen jauh lebih besar dibandingkan persentase populasi mereka yg sebenarnya (saat itu populasi etnis Turki Siprus kurang dari 20 %). Usulan amandemen tersebut langsung ditolak oleh komunitas Turki Siprus dalam parlemen.
Presiden Makarios. Di masa kepemimpinannya, Siprus dilanda gejolak
 setelah ia berusaha mengadakan perubahan dalam pemerintahan
Presiden Makarios
Masih di tahun yg sama, muncul dokumen kontroversial di antara komunitas Yunani Siprus yg ada dalam parlemen bernama “Rencana Akritas” (Akritas Plan). Inti dari rencana tersebut adalah adanya aksi-aksi serangan terencana yg ditujukan kepada komunitas Turki di Siprus untuk memaksa mereka pergi sesegera mungkin sebelum adanya intervensi pihak asing (dalam hal ini 3 negara yg bertanggung jawab atas Perjanjian Zurich-London) sehingga etnis Yunani bisa mendominasi pemerintahan lokal Siprus & segera mengupayakan enosis. Komunitas Turki Siprus melihat hal tersebut sebagai ancaman terhadap eksistensi mereka di Siprus sehingga hubungan antar komunitas pun memanas kembali sejak tahun itu & mengawali babak baru dalam konflik antar etnis.
Bulan Desember 1963, terjadi aksi serangan oleh kelompok paramiliter Yunani yg ditujukan kepada komunitas Turki di Nikosia & Larnaca pasca kerusuhan yg timbul antara sekelompok penduduk Turki Siprus dengan pasukan pengawal salah seorang menteri Yunani Siprus di Nikosia. Aksi kelompok paramiliter Yunani tersebut lalu dibalas dengan serangan-serangan terhadap komunitas Yunani Siprus oleh kelompok paramiliter Turki TMT. Siprus lalu berubah menjadi medan perang yg berdarah ketika muncul aksi saling serang & saling bunuh antar etnis yg mengakibatkan munculnya ratusan korban tewas & hilang di mana mayoritasnya merupakan etnis Turki, sementara ribuan lainnya yg selamat kehilangan tempat tinggal & terpaksa tinggal di kamp-kamp pengungsian. Selama periode ini juga terjadi eksodus besar-besaran etnis Turki keluar Siprus.
Sekelompok wanita Turki Siprus yang sedang berlari untuk 
menyelamatkan diri ketika terjadi konflik etnis di Siprus
Sekelompok wanita Turki Siprus yang sedang berlari untuk menyelamatkan diri ketika terjadi konflik etnis
Merasa berkepentingan atas nasib warganya di Siprus & sebagai salah satu pihak penanggung jawab keamanan di Siprus, Turki mengultimatum bahwa mereka akan mengirimkan pasukan militer ke sana & sejak tahun 1964 sudah menyiagakan jet-jet tempurnya di atas Siprus. Di tahun yg sama, serangan-serangan sporadik terhadap komunitas Turki di Siprus juga berlanjut meskipun pembicaraan gencatan senjata sedang berjalan. Merasa khawatir bahwa Turki bisa menyerbu Siprus setiap saat, Presiden Makarios mendirikan angkatan bersenjata Garda Nasional (National Guard) yg terdiri dari orang-orang sipil Yunani Siprus yg direkrut dengan sistem mirip wajib militer & kelak menjadi tentara resmi dari Republik Siprus.

Pasukan Garda Nasional Siprus yang sedang berparade
Salah satu peristiwa penting di tahun 1964 adalah pertempuran di desa Kokkina, Siprus utara. Sejak konflik etnis meletus, komunitas Turki Siprus telah terkonsentrasi di Siprus utara, khususnya Kokkina. Otoritas Yunani Siprus melihat komunitas Turki memakai wilayah tersebut untuk mengimpor persenjataan & simpatisan perang dari Turki secara diam-diam & melihatnya sebagai bentuk intervensi asing secara tersembunyi. Maka pada tanggal 6 Agustus 1964, pasukan yg terdiri dari gabungan Garda Nasional & tentara Yunani (Greek Army) yg dipimpin oleh George Grivas mengepung desa tersebut dengan bantuan artileri & armada laut. Komunitas Turki Siprus yg berada di sana pun kemudian meresponnya dengan perlawanan memakai senjata seadanya.
Turki yg merasa berkepentingan untuk melindungi keselamatan warganya di sana & masih terikat dengan perjanjian keamanan Siprus memutuskan untuk ikut serta dalam konflik di Kokkina. Tanggal 8 Agustus, pesawat-pesawat tempur Turki membombardir sejumlah target militer & sipil di Siprus dengan bom napalm. Akibat intervensi militer yg dilakukan Turki, relasi antara Turki dengan Yunani menegang & kedua negara sempat menambah jumlah pasukannya di perbatasan. Di lain pihak, Uni Soviet mengancam akan menginvasi Turki bila Turki meneruskan intervensi militernya di Siprus. Pemerintah Siprus juga turut menambahkan akan menghancurkan setiap desa yg dihuni oleh etnis Turki bila Turki tidak menghentikan aksinya. Gencatan senjata akhirnya dicapai pada tanggal 9 Agustus 1964 & pasukan perdamaian PBB diterjunkan di wilayah tersebut.
Junta militer Yunani yang juga bertanggung jawab atas kudeta di 
Siprus tahun 1974
Junta militer Yunani yang juga bertanggung jawab atas kudeta di Siprus tahun 1974.
Tahun 1967, terjadi kudeta di Yunani yg dilakukan oleh sekelompok anggota militer sayap kanan & sejak itu, Yunani dikuasai oleh rezim junta militer yg mendapat dukungan dari AS tapi dikecam oleh negara-negara Eropa. Pemerintahan baru Yunani tersebut selanjutnya menekan Presiden Makarios untuk segera merealisasikan enosis. Makarios – yg tidak tertarik untuk bekerja sama dengan pemerintahan militer Yunani & berusaha menghindari aksi-aksi yg bisa memprovokasi invasi Turki ke Siprus – memutuskan untuk mulai meninggalkan impian enosis. Keputusan Makarios tersebut menimbulkan rasa tidak senang dari pihak junta militer Yunani & komunitas Yunani di Siprus yg pro-enosis.
Bulan November 1967, sekelompok anggota paramiliter Yunani EOKA-B di bawah pimpinan George Grivas – yg juga merupakan pendiri kelompok paramiliter Yunani Siprus EOKA – melakukan sejumlah serangan ke pemukiman komunitas Turki di Siprus utara sehingga puluhan penduduk sipil Turki Siprus terbunuh. Tindakan Grivas & pasukannya tersebut mengundang kemarahan Turki yg kembali mengancam akan mengirimkan pasukan militer ke Siprus. Ancaman Turki tersebut lalu diikuti dengan mundurnya Grivas dari posisinya sebagai pemimpin pasukan Yunani di Siprus & pemangkasan jumlah personil Garda Nasional oleh Presiden Makarios. Makarios juga menyatakan bahwa upaya enosis sudah mustahil untuk dilaksanakan dalam waktu dekat & ia mulai mengumpulkan dukungan dari anggota Yunani Siprus berhaluan kiri yg anti-enosis. Di saat bersamaan, komunitas Turki Siprus juga membentuk pemerintahan sendiri menyusul rasa tidak puas terhadap pemerintah Siprus yg dianggap bersikap represif terhadap komunitas Turki Siprus.
Pihak junta militer Yunani serta komunitas Yunani Siprus yg pro-enosis menuduh Makarios sebagai pengkhianat & penghalang bagi mereka untuk mencapai tujuan enosis. Maka pada bulan Juli 1974, kelompok paramiliter EOKA-B & Garda Nasional yg disponsori oleh junta militer Yunani melakukan upaya kudeta terhadap pemerintahan Siprus. Makarios yg menjadi target utama dari kudeta tersebut berhasil melarikan diri keluar Siprus dengan bantuan angkatan udara Inggris di Siprus. Nikos Sampson kemudian diangkat sebagai presiden baru Siprus. Dalam salah satu wawancara pada tahun 1981 dengan koran Yunani Eleftherotipia, Sampson menyatakan bahwa bila Turki tidak ikut campur dengan operasi militernya, Siprus akan segera menjadi wilayah yg murni Yunani dengan memakai aksi-aksi represif terhadap komunitas Turki di Siprus.
Invasi Turki & Berdirinya Republik Turki Siprus Utara
Aksi kudeta terhadap pemerintahan Siprus tersebut langsung mengundang perhatian Turki. Setelah tidak berhasil menggalang dukungan dari Inggris selaku salah satu negara yg juga bertanggung jawab atas keamanan Siprus, Turki kemudian menyatakan akan segera mengirimkan pasukan ke Siprus dengan bersandar pada artikel 1 dalam Traktat Jaminan tahun 1960 yg intinya menyatakan bahwa negara-negara penjamin (Turki, Inggris, & Yunani) memiliki wewenang untuk mencegah upaya aneksasi Siprus oleh salah satu negara penjamin tersebut – dalam hal ini upaya enosis Siprus oleh Yunani – dan artikel 4 yg menyatakan negara penjamin boleh memakai kekuatan militer untuk mencegah upaya aneksasi tersebut. Operasi militer Turki di Siprus tersebut juga dikenal di Turki dengan nama “Operasi Atilla” & “Operasi Perdamaian 1974″.
Pasukan Turki tiba di pantai utara Siprus pada tanggal 20 Juli 1974. Di sana, mereka mendapat aksi perlawanan dari pasukan pejuang Yunani Siprus ELDYK & Garda Nasional. Tiga hari kemudian, gencatan senjata diumumkan di mana pasukan Turki saat itu sudah menguasai 7 % dari wilayah total Siprus. Selama periode gencatan senjata tersebut, perundingan antara Turki dengan Yunani dilakukan di Genewa, Swiss, dengan diawasi oleh NATO yg berusaha mencegah adanya percekcokan antar anggotanya. Dalam pembicaraan, Turki meminta pemerintah Siprus menerima usulan Turki untuk pembentukan negara federasi & transfer populasi. Pemerintah Siprus meminta diberi waktu hingga 2 hari untuk mengkonsultasikan usulan Turki tersebut dengan Yunani, namun keinginan Siprus tersebut ditolak oleh Turki yg curiga Siprus akan menggunakan waktu tersebut untuk kembali berkonspirasi dengan Yunani.
Tanggal 14 Agustus 1974 pasca kebuntuan dalam perundingan, Turki melancarkan gelombang serangan kedua ke Siprus yg juga dikenal sebagai “Operasi Atilla II”. Dalam gelombang serangan keduanya itu, Turki berhasil menguasai wilayah-wilayah penting di Siprus utara dari tangan pasukan gabungan Garda Nasional & ELDYK, termasuk wilayah utara Nikosia yg merupakan ibukota Siprus. Ketika Turki mengakhiri gelombang serangan keduanya pada tanggal 17 Agustus, pasukan Turki telah berhasil menguasai 38 % dari wilayah total Siprus. Pasukan Turki mengklaim bahwa ada 250 korban tewas & 550 terluka dari pihak mereka serta 700 tahanan perang dari pihak musuh yg mereka tahan selama operasi militer.