Logo Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Visi dan Misi
Logo Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Visi.
Menjadi lembaga yang akuntabel, transparan dan profesional dengan didukung oleh petugas yang memiliki kompetensi tinggi yang mampu mewujudkan tertib pemasyarakatan
Misi.
  1. Mewujudkan tertib pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan secara kosisten dengan mengedepankan terhadap hukum dan hak asasi manusia
  2. Membangun kelembagaan yang profesional dengan berlandaskan pada akuntabilitasdan transparasi dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan
  3. Mengembangkan kompetensi dan potensi sumber daya petugas secara konsisten dan berkesinambungan
  4. Mengembangkan kerjasama dengan mengoptimalkan stakeholder

Tugas Pokok dan Fungsi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis dibidang Pemasyarakatan.
Untuk melaksanakan tugas tersebut Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyelenggarakan fungsi:
  1. penyiapan perumusan kebijakan Departemen dibidang bina registrasi dan statistik, bina perawatan, bina bimbingan kemasyarakatan, bina latihan kerja dan produksi, bina keamanan dan ketertiban serta bina khusus narkotika.
  2. pelaksanaan kebijaksanaan dibidang bina registrasi dan statistik, bina perawatan, bina bimbingan kemasyarakatan, bina latihan kerja dan produksi, bina keamanan dan ketertiban serta bina khusus narkotika,
  3. perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur dibidang bina registrasi dan statistik, bina perawatan, bina bimbingan kemasyarakatan, bina latihan kerja dan produksi, bina keamanan dan ketertiban serta bina khusus narkotika,
  4. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi,
  5. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal
Sejarah
Menengok ke belakang perjalanan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, adalah sebuah jejak-jejak panjang nan penuh liku. Hal ini terkait dengan sejarah berdirinya negara tercinta ini, yang memiliki masa-masa pahit tatkala Belanda dan Jepang menancapkan cakar tajamnya di masa penjajahan. Masa demi masa terlewati, mengukir catatan demi catatan. Masing-masing masa memiliki sejarahnya tersendiri. Tentu saja ini bukan hanya sekadar catatan, namun makna di dalamnya dapat dijadikan acuan menuju gerbang profesionalisme Lembaga Pemasyarakatan untuk menjawab tantangan di masa datang
  1. Periode kerja paksa
Periode pidana kerja paksa di Indonesia berlangsung sejak pertengahan abad ke-XIX atau tepatnya mulai tahun 1872 hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis hukum pidana; pertama, hukum pidana khusus untuk orang Indonesia ;dan yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa.

Bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus, yakni �Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie�, artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang pribumi di Hindia Belanda. Pada saat itu orang Indonesia disebut dengan �Inlanders�.
Pada periode ini pidana kerja merupakan bentuk pemindanaan yang seringkali dijatuhkan pada � inlanders�. Lama pidana kerja sangat bervariasi bisa seumur hidup, atau minimal satu hari. Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi dua, yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen). Kerja paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang di bawah lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting). Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan istilah �dipekerjakan� (ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga bulan disebut �krakal�.

Pidana kerja paksa baik dengan rantai maupun tidak, dilaksanakan diluar daerah tempat diputuskannya perkara, juga di luar daerah asal terpidana. Hukuman yang juga disebut dengan �pembuangan� (verbanning), dimaksudkan untuk memberatkan terpidana, dijauhkan dari sanak saudara serta kampung halaman. Bagi orang Indonesia yang cenderung memiliki sifat kekerabatan dan persaudaraan, tentu saja hal ini dirasa sangat memberatkan.
Terpidana menjalani kerja paksa diluar daerah, dengan bekerja pada proyek-proyek besar, seperti; tambang batu bara di Sawah Lunto (Umbilin), proyek pembuatan jalan di Sumatera Tengah, Tapanuli, Aceh, Sulawesi, Bali/Kintamani, Ambon, Timor, dan lain-lain.

Selain itu para terpidana juga bekerja sebagai pemikul perbekalan dan peluru saat Perang Aceh, dan di tempat-tempat lain di luar Jawa. Tujuan utama dari hukuman pada periode tahun 1872-1905 ini adalah menciptakan rasa takut (afschrikking) dan mengasingkan terpidana dari masyarakat. Meskipun pada waktu itu berlaku �Reglement op de Orde en Tucht� (Staatsblad 1871 no. 78) yang berisi tata tertib terpidana, namun semuanya praktis tidak dijalankan. Para terpidana tidak mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana mestinya.

Akibatnya, kondisi kesehatan para terpidana sangat menyedihkan bahkan hampir setiap hari terjadi usaha pelarian. Penegakan hukum pada masa kekuasaan Hindia Belanda ini bersifat menyeluruh hingga ke lapisan masyarakat paling bawah.
0 Komentar