Penghianatan Pak Pos

Sering saya melihat sosok pejuang tangguh berjuluk Pak Pos. Berjaket tebal dengan sarung tangan dan masker serta helm melaju diantara ganasnya lalu lintas kota. Entah kepada siapa sebutan itu diberikan? Apakah kepada semua pekerja di PT Pos Indonesia atau hanya mereka yang mempunyai tugas mengantar surat atau paket saja. Panggilan Pak Pos begitu melegenda, sampai sekarang di jaman emansipasi ala Dewi Persik, belum pernah terdengar ada panggilan Bu Pos. Entah mengapa? Ataukah saya yang bertelinga patriarkhi sehingga tuli akan istilah yang agak feminim?
Sosok Pak Pos benar-benar sosok pahlawan [juga] tanpa tanda jasa. Entah berapa banyak air mata dan tawa dipertemukan melalui bantuannya. Ketika belum ada telepon, si cantik akan sering berdebar-debar di balik jendela rumah, melongok dan menunggu kedatangan Pak Pos. Bukannya si cantik sedang menjalin asmara dengan Pak Pos, namun surat si ganteng di seberang pulau yang dinantinya.
Jaman berubah, teknologi berkembang pesat. Pak Pos semakin tergerus laju modernisasi. Berkirim surat kini hanya [mungkin] sebatas melamar kerja saja. Bertanya kabar? Ah terlalu mengada-ada untuk jaman sekarang. Layanan serupa dengan Pak Pos pun semakin banyak, beradu untung dan beradu pelayanan tentunya.
Jaket lusuh dengan wajah kumal terkena debu jalanan tergambar jelas di wajah Pak Pos. Sungguh pekerja tangguh. Nyawa menjadi taruhannya ketika harus berhadapan dengan konvoi motor besar dan juga motor kecil yang arogan. Semua demi satu kata! Pengabdian. Baik pengabdian kepada perusahaan, konsumen, keluarga dan bahkan bangsa.
Namun kini Pak Pos telah dikhianati. Kejam! Ketika pengkhianat itu adalah rekannya sendiri. Rekan beda nasib. Rekan beda kedudukan. Sungguh tega nian mereka. Teringat wajah lelah Pak Pos ketika mengantarkan surat cinta dari BNI pagi tadi…

Previous
Next Post »
0 Komentar